Cerita Gay Melayu Malaysia,Indonesia & Singapore.

Rabu, 24 Februari 2016

BANG ROSYID DITINGGAL ISTRI [TAMAT]

AKU masih melirik ke atas meja tamu di ruang kerja Pak Arman dan bertanya-tanya mengapa topi berladang milik Bang Rosyid bisa ada di situ. Aku tidak tahu harus bereaksi apa. Sepertinya Pak Arman memang sengaja memancing reaksiku dengan meletakkan benda itu di atas meja.

“Kenapa? Kamu belum jawab pertanyaan saya. Kamu mau ke mana?” Tanya Pak Arman.

Aku mengangkat wajahku berusaha tegar menantangnya. “Karim mau pergi dari rumah ini sama orang yang punya topi itu,” kataku sambil menunjuk topi Bang Rosyid.

Pak Arman menghentikan kegiatannya memeriksa dokumen dan perlahan menutup map yang berada di depannya. Dia lalu bangkit dari kursinya dan tiba-tiba menggebrak meja.

Aku terlonjak karena terkejut dan takut. Pak Arman lalu menghampiriku dan menarik kausku.

“Kalian berdua berani ngentot di rumah saya, hah?” geramnya.

Aku mengetatkan gigiku sambil gemetar. Akan tetapi mataku tetap menantang tatapan mata Pak Arman dengan berani.

“Masuk ke kamar kamu!” perintah Pak Arman.

Aku tidak menggubris perintah Pak Arman dan bertanya balik, “Di mana Bang Rosyid?”

“Kalau kamu masih mau lihat dia hidup, turuti perintah saya. Masuk kamar!” kata Pak Arman.

Aku tak punya pilihan lain selain menurutinya. Saat aku melewati sebuah lorong dan melihat ada troli dorong berisi piring bekas makan, aku mendekati troli itu dan mengambil sebuah pisau dari atasnya.

***

Sampai malam hari aku masih belum bisa tenang. Aku menelepon nomor ponsel Bang Rosyid, namun ternyata nomor itu tidak aktif. Kucoba menelepon nenek dan menanyakan padanya apakah beliau tahu Bang Rosyid menyusulku ke kota, dan nenek menjawab dia tak tahu-menahu sama sekali mengenai kepergian Bang Rosyid.

Sekitar jam sebelas malam, Pak Arman mengunjungi kamarku. Aku kembali bertanya padanya ke mana dia sembunyikan Bang Rosyid.

“Kalau kamu memang benar-benar ingin tahu, layani saya malam ini…” kata Pak Arman sambil meraih bahuku.

Aku menepis tangannya dari bahu dan menjauh. Tindakanku membuat Pak Arman kesal dan dia melayangkan sebuah tamparan pada wajahku.

“Kenapa kamu selalu melawan, hah?” bentak Pak Arman.

Aku mengusap pipiku sesaat lalu berusaha melayangkan tinju pada wajahnya. Pak Arman ternyata lebih sigap. Dia menangkap lenganku dan mendorongku ke ranjang. Tangannya dengan kasar mencoba menarik bajuku lepas dari badan. Tapi tanpa sepengetahuannya, aku mengambil pisau yang sejak siang kusembunyikan di balik bantal.

“Jangan terusin Pak! saya bisa nekad!” Ancamku sambil mengacungkan pisau itu ke arah Pak Arman.

“Kamu enggak akan bisa lolos dari saya. Memang kamu enggak mau ketemu pacar kamu lagi, hah?” kata Pak Arman. Walau nadanya masih terdengar melecehkan, tetapi rupanya Pak Arman agak khawatir juga. Dia pun mundur menjauh dariku.

“Saya enggak tahu keadaan Bang Rosyid. Saya sudah enggak peduli lagi kalau saya harus masuk penjara.. Kalau gitu mari kita sama-sama mati saja pak…” ancamku serius.

Pak Arman mendengus kesal.

“Baik. Saya antar kamu malam ini ke tempat pacar kamu,” katanya sambil membetulkan kaus polonya.

“Dari mana saya tahu kalau bapak enggak bohong?” tanyaku.

“Kamu enggak akan pernah tahu kalau enggak ikut saya. Itu kamu sendiri yang tentuin. Saya tunggu di garasi,” kata Pak Arman lagi sebelum keluar dari kamar.

Aku membiarkan Pak Arman menghilang di balik pintu selama beberapa saat lalu aku cepat-cepat mengambil jaket dan dompetku kemudian bergegas ke garasi.

Pak Arman sudah berada di belakang kemudi mobil Jeep yang mesinnya sudah menyala. Sebenarnya aku khawatir ini adalah jebakan Pak Arman, tapi aku melihat tak ada cara lain selain mengikuti permainannya. Aku duduk di samping Pak Arman. Ketika kami melewati pintu pagar, Pak Arman dengan ramah berbicara kepada seorang penjaga keamanan bahwa dirinya hendak mengajakku jalan-jalan.

Jantungku berdebar-debar selama perjalanan. Aku mencoba mengingat jalan raya yang kami lalui tapi sepertinya sulit sekali mengetahui ke mana Pak Arman membawa mobilnya.

Aku semakin khawatir ketika Pak Arman berbelok ke arah jalan setapak yang di sebelah kanan-kirinya ditumbuhi pohon dan semak. Aku tahu kami berada di sebuah perbukitan karena hawanya terasa lebih dingin.

Kami berhenti di sebuah rumah tua yang walau terlihat sudah kusam, namun masih cukup terawat. Seorang pria bertubuh besar mengangguk memberi hormat pada Pak Arman.

“Masuk.. pacar kamu ada di dalam,” perintah Pak Arman.

Awalnya aku ragu, tetapi aku kembali menuruti perintahnya.

Pak Arman membuka pintu salah satu kamar dan aku terkejut melihat Bang Rosyid berada di dalamnya. Tubuhnya tampak lemas. Kamar itu walau berantakan, namun masih bersih. Bang Rosyid meringkuk di ranjang. Di mejanya ada piring berisi makanan yang tidak habis.

Aku menghambur memeluk Bang Rosyid dan berusaha membangunkannya.

“Bang! Bang Rosyid!” panggilku.

Bang Rosyid membalik badannya dengan lemah. Akhirnya bisa kulihat jelas wajahnya sedikit bengkak seperti luka pukulan.

“Ka.. Karim?” tanyanya pelan.

“Kamu apain Bang Rosyid??” teriakku pada Pak Arman.

Pak Arman kembali mendengus nyaris tertawa. Dia menarik lenganku dan membuatku menjauh dari Bang Rosyid.

“Enggak! Enggak!” kataku sambil meronta dan melawan Pak Arman tak ingin jauh dari Bang Rosyid.

PLAK!

Sebuah tamparan keras membuatku terhuyung dan terjatuh ke ranjang.

“Kamu tahu? sudah lama saya ingin bawa kamu ke rumah! saya minta ibu kamu supaya ajak kamu walau dia sendiri sudah tidak lagi berminat ngurus kamu, ngerti?” teriak Pak Arman.

Kemudian Pak Arman meraih bahuku dan mencengkeramnya. “Anak sialan! saya kira kamu masih polos, tidak tahunya kamu sudah punya pacar di kampung!” geramnya sambil kembali memukulku.

Saat aku hendak melawan, Pak Arman tiba-tiba mengeluarkan sepucuk pistol kecil dan menodongkannya pada kami berdua. Wajahnya nampak marah. Bang Rosyid melihat hal itu dengan waspada dan walau masih lemah dia berusaha mendekatiku.

“Kalian berdua berani berbuat di rumah saya, sekarang lakukan di sini… AYO! CEPAT!” perintahnya.

Bibirku gemetar ketakutan. Tampaknya Pak Arman tidak main-main.

“Ayo cium pacar kamu!” perintahnya lagi.

Aku mendekatkan bibirku pada wajah Bang Rosyid hendak menciumnya. Bang Rosyid menatap galak pada Pak Arman seperti hendak melawan namun tak memiliki tenaga untuk melakukan itu. Aku dan Bang Rosyid berciuman namun sangat canggung. Airmataku meleleh saat melakukan itu.

Tiba-tiba Pak Arman menarik lenganku dan menyuruhku membuka pakaianku.

“Buka baju kamu! buka!” ujarnya kasar sambil menarik-narik kausku.

“Bangsat! lepasin anak itu!” teriak Bang Rosyid. Dia berusaha untuk bangun namun sia-sia.

Aku sangat ketakutan dengan perlakuan kasar Pak Arman. Dia seperti kesetanan dengan menarik-narik bajuku. Aku khawatir pistol yang dia acungkan bisa meletus kapan saja.

“Lambat sekali kamu! ayo buka!” teriaknya geram.

Kemudian setelah aku melepas seluruh pakaianku. Pak Arman mendorongku kembali ke ranjang. Disuruhnya aku membuka pakaian Bang Rosyid. Kembali dia memerintahkan kami untuk berciuman dan saling berangkulan. Namun kami tidak bisa melakukannya dalam tekanan apalagi dihadapan orang lain.

“Kalau kamu enggak bisa ngentotin dia, biar saya saja!” kata Pak Arman lagi kembali menarikku dari pelukan Bang Rosyid.

“Jangan! Jangan pak!” kataku sambil menangis.

“Lepasin dia!” raung Bang Rosyid sambil berusaha bangkit dari ranjang dengan sisa tenaganya. Sayangnya, Pak Arman kemudian menendang dada Bang Rosyid hingga dia tersungkur di lantai. Bang Rosyid terbatuk-batuk sambil memegangi dadanya kesakitan.

“Bungkuk! ayo bungkuk di lantai!” perintah Pak Arman sambil menodongkan pistolnya ke kepalaku.

Aku menuruti perintah Pak Arman sambil menangis. Aku bertumpu pada lantai dengan kedua lutut dan telapak tanganku. Di belakang tubuhku dengan cekatan Pak Arman melepas celananya sambil terus menodongkan pistolnya.

“Aaarrgghh!” teriakku kesakitan saat Pak Arman menghujamkan penisnya tanpa peringatan. Aku berteriak-teriak menahan sakit seiring penisnya yang tanpa ampun merangsek masuk anusku berkali-kali dengan ganas.

Kudengar Pak Arman mendengus seperti hewan buas. Ditariknya rambutku dan dijilatinya leherku sambil terus memaksaku menerima sodokan penisnya. Airmataku semakin meleleh. Kulihat Bang Rosyid melihat perbuatan Pak Arman dengan sedih tanpa bisa menolongku.

“Sudah Pak.. sudah..” pintaku memelas.

Pak Arman tak mau berhenti sebelum nafsunya terpuaskan. Dia mengerang panjang menyelesaikan aksinya beberapa lama kemudian. Setelah selesai, didorongnya tubuhku hingga ke dekat Bang Rosyid. Sambil menangis aku memeluk Bang Rosyid tak ingin melepasnya.

Pak Arman masih terengah-engah. Dia lalu merapikan pakaiannya dan berdiri. “Ayo pake baju! kita pulang!” perintahnya.

Aku menggeleng. Lebih baik aku berada di sini bersama Bang Rosyid walau kami berdua terperangkap dalam rumah ini. “Maafin Karim bang…” ucapku lirih di telinga Bang Rosyid.

“Pulang Rim.. kalau kamu di sini nanti siapa yang bakal nyelamatin kita.. pulang dulu sana..” kata Bang Rosyid.

“Tapi Karim nggak mau tinggalin Abang…” kataku.

“Ssst.. sst.. kita cari jalan. Abang nggak apa-apa di sini. Karim tolong cari bantuan, ya?” gumam Bang Rosyid.

Walaupun tak ingin pergi, apa yang diucapkan Bang Rosyid ada benarnya. Aku harus kembali ke rumah Pak Arman dan memikirkan cara kabur dari rumah itu sekaligus menyelamatkan Bang Rosyid. Lalu aku kembali berpakaian dan membantu Bang Rosyid untuk mengenakan bajunya sebelum berpamitan.

Dengan langkah gontai, aku mengikuti langkah Pak Arman menuju teras.

“Jim! Jimmy! kita mau pulang! Kamu jaga baik-baik orang itu.” sahut Pak Arman. Nampaknya dia memanggil orang bertubuh besar yang tadi kulihat saat datang.

“Jim? kemana kamu?!” panggilnya lagi saat melihat ruang tamu di rumah itu kosong.

“Dia sudah saya suruh pergi…” kata sebuah suara.

Ternyata di ruang tamu Ibu berdiri di sudut sambil mengacungkan pistol ke arah Pak Arman. Tangannya gemetar.

“Apa-apaan kamu?” tanya Pak Arman.

“Sudah cukup mas! ini sudah keterlaluan! biarkan Karim pergi dan saya akan anggap hal ini tidak ada dan kembali ke rumah…” kata Ibu sambil mendekati Pak Arman.

“Ibu! kita kembali ke desa saja!” teriakku.

“Ayolah… kamu sendiri bilang sudah tidak peduli lagi sama anak kamu ini kan? Oke.. oke.. turunkan pistolnya, dan saya akan lepaskan pacar anak ini, gimana?” tawar Pak Arman.

“Pa..pacar?” tanya Ibu tak mengerti.

“Oh, kamu enggak tahu kalau anak kamu ini homo? dia punya pacar di kampung dan saking cintanya orang itu sampai nyusul ke rumah kita…” ejek Pak Arman.

Mendadak tangan ibu limbung dan menurunkan acungan pistolnya. Hal itu dimanfaatkan Pak Arman untuk bergerak maju.

“Ibu, Awas!” teriakku.

Ibu yang kembali tersadar, kembali mengacungkan pistolnya.

“Kamu enggak akan berani nembak saya…” ejek Pak Arman lagi.

DOR!

Tiba-tiba suara letusan tembakan terdengar.Entah tembakan ibu meleset atau sengaja, ibu menembak ke arah dinding di sebelah Pak Arman.

“Coba saja kalau berani…” ancam ibu.

Pak Arman terpaksa menuruti keinginan ibu.

“Karim.. Ibu sudah lapor polisi atas tuduhan penculikan dan penganiayaan. Kalau mereka melihat ibu di sini dengan badan penuh luka, polisi akan percaya kalau ibu yang diculik. Kamu.. cepat pergi bawa teman kamu dari sini!” perintah ibu.

Tanpa pikir panjang, aku berlari kembali ke kamar Bang Rosyid dan mendobraknya. Bang Rosyid terkejut melihatku kembali dan aku berusaha mengangkat tubuhnya dengan meletakkan tangannya pada bahuku.

“Karim..? orang itu kemana?” tanya Bang Rosyid.

“Ada Ibu datang Bang.. Dia selamatin kita…” kataku gembira.

Saat tiba di ruang tamu, Ibu masih berhadap-hadapan dengan Pak Arman.

“Di belakang rumah ini kamu terus jalan, ada jalan raya di sana. Minta bantuan untuk pergi. Ibu enggak bisa tinggalin orang ini sampai polisi datang..” suruh Ibu.

“Ibu.. ayo ikut saja..” ajakku.

“Kalau ibu ikut, monster ini bakalan lolos dari hukum… nanti kalau semua sudah beres ibu akan balik ke desa..” kata Ibu sambil tersenyum. Kulihat Pak Arman masih mengangkat tangannya dengan kesal.

Kemudian aku membopong Bang Rosyid keluar setelah berterimakasih pada Ibu. Tapi tiba-tiba Pak Arman menyerang Ibu dan berusaha merebut pistol dari tangannya.

“Heaaaaaa!!” teriak Pak Arman. Ibu menjerit ketakutan dan berusaha menghindari Pak Arman yang mencoba mengambil pistolnya.

“Karim! ibu kamu!” teriak Bang Rosyid cemas.

Baru saja aku hendak berpikir bagaimana caranya menolong Ibu, Bang Rosyid tiba-tiba melepaskan diri dari tubuhku dan dengan terpincang-pincang dia berjalan ke tempat Ibu dan Pak Arman yang saling berusaha merebut pistol.

“HEH! LEPASIN PEREMPUAN ITU!” raung Bang Rosyid.

“BANG ROSYID! JANGAN!” teriakku cemas.

Namun Bang Rosyid mencoba menarik lengan Pak Arman dari usahanya merebut pistol Ibu. Ketiganya saling berteriak dan melawan sampai akhirnya terdengar bunyi letusan pistol. Pak Arman, Ibu dan Bang Rosyid mendadak diam. Mata mereka membelalak dan saling berpandangan. Aku menyaksikan peristiwa itu dengan ngeri.

“IBU! BANG ROSYID!” teriakku.

Tak lama kulihat tubuh Bang Rosyid merosot dan ambruk ke lantai. Bajunya berlumuran darah.

“BANG ROSYID!!” jeritku panik.

TAMAT !!!

0 komentar:

Posting Komentar