Cerita Gay Melayu Malaysia,Indonesia & Singapore.

Rabu, 24 Februari 2016

BANG ROSYID DITINGGAL ISTRI 2

PAGI harinya, setelah kejadian menyenangkan dengan Bang Rosyid semalam, aku harus kecewa. Aku terbangun sekitar setengah enam. Tenggorokanku sakit akibat lapisan sperma Bang Rosyid yang mengering di kerongkongan akibat tak minum air setelah menservisnya. Sambil berdeham-deham, aku melihat Bang Rosyid sudah tak lagi ada di sebelahku.

Aku berjalan menuju dapur sambil berdeham-deham dan kemudian meminum segelas air hingga kerongkonganku terasa lega. Aku mengetahui bahwa Bang Rosyid sedang di kamar mandi berdinding kayu di belakang rumahnya dari suara air pancuran yang mengalir dan pakaiannya yang tersampir. Yang membuatku kecewa, Bang Rosyid pura-pura tak mendengar ketika aku memanggil namanya dan mengetuk pintu kamar mandinya.

“Bang? Bang Rosyid?” panggilku.

Tak ada jawaban. Yang terdengar hanyalah suara air pancuran yang mengalir.

“Bang?” panggilku sekali lagi.

Rupanya Bang Rosyid tak ingin berbicara denganku. Aku lalu keluar dari rumahnya dan kembali ke rumah nenek. Nenek yang sudah bangun dan sedang memasak air di dapur, menyapaku yang masuk lewat pintu belakang rumah melewatinya.

“Rim? udah solat subuh belum?” tanya nenek.

Aku yang merasa sedih karena didiamkan Bang Rosyid mengabaikan pertanyaan nenek dan langsung masuk ke kamarku. Kuhempaskan tubuhku ke atas dipan dan membenamkan wajahku ke bantal dan berteriak kuat-kuat.

***

Benar saja, seharian itu aku tak melihat Bang Rosyid. Padahal kalau hari Minggu dia tak pernah lama-lama di kebun dan memilih untuk membersihkan rumahnya. Rupanya dia menghindariku seperti yang aku duga.

Bahkan saat hari sekolah, aku yang sengaja menunggu di teras rumah sambil membaca buku sore hari seperti biasanya, harus menyerah karena Bang Rosyid tak muncul-muncul juga sampai maghrib tiba. Ketika aku masuk ke kamar, kulihat Bang Rosyid tergesa-gesa menuju rumahnya. Dia tak ingin bertemu denganku!

Sudah hampir satu minggu Bang Rosyid menghindar. Sabtu itu aku tak menyangka bila akhirnya Bang Rosyid menyapaku sepulang aku sekolah.

“Rim! Karim! bisa bantuin abang nggak?” panggilnya biasa saja seolah tak pernah menghindariku.

“Ada apa bang?” tanyaku.

“Ini… abang baru aja beli laptop sama modem, tolong ajarin abang cara instalnya ya? bisa kan?” tanya Bang Rosyid dari teras rumahnya.

Awalnya aku ragu dan masih sebal atas perilakunya mendiamkanku. Namun akhirnya aku mengangguk setuju.

“Nanti sore ya, Bang? Karim mau istirahat dulu,” jawabku menjaga gengsi.

Bang Rosyid terpaksa setuju.

***

Walau aku tampak malas-malasan, sebenarnya aku senang juga Bang Rosyid menyapaku lagi. Buktinya, aku merasa agak dandan berlebihan sore itu setelah mandi hanya untuk pergi ke rumahnya.

“Apanya yang nggak bisa, Bang?” tanyaku setelah Bang Rosyid mempersilakan aku masuk ke kamarnya.

Di mejanya ada sebuah netbook putih dalam keadaan menyala. Masih tampak baru.

Aku melirik ranjang Bang Rosyid tempat kami pernah tidur bersama. Bang Rosyid yang mengetahui hal itu dan melihatku memikirkan sesuatu buru-buru mengalihkan pandangannya dari mataku.

“Eh.. Ehm, ini Rim.. kok modemnya enggak bisa konek ya? padahal katanya enggak usah pake kabel,” jelas Bang Rosyid sambil menunjukkan sebuah kotak kecil dengan lampu di ujungnya yang berkelap-kelip.

Aku memeriksa modem itu lalu memeriksa konektivitas sinyalnya pada netbook Bang Rosyid. Rupanya ada kesalahan pengaturan yang mengakibatkan sinyal dari modem itu tak terdeteksi.

“Ini bang, harusnya option yang ini dicentang dan yang ini dikosongkan aja,” jelasku sambil menunjuk pada layar netbook.

Bang Rosyid mengangguk-angguk saja entah paham atau tidak.

“Jadi abang udah bisa install skype, facebookan, sama yang lain-lain?” tanyanya.

“Itu sih udah ada semua Bang, cuma tinggal bikin akunnya aja,” jelasku lagi.

“Hmm..” gumam Bang Rosyid. Kemudian dia mengambil ponselnya dari kantung celana dan mulai mencari-cari sesuatu.

“Kenapa, Bang?” tanyaku.

“Ini, istri abang kirim akun-akunnya dia: facebook, skype, sama yang lain supaya di invite katanya.. biar bisa video chatting. Kamu bisa bantu abang bikinin?” tanya Bang Rosyid.

“Mmm.. bisa Bang. Sini, Karim bantu bikin..” tawarku.

Setengah jam kubuatkan alamat email dan akun media sosial Bang Rosyid. Dia tampak sumringah ketika akun facebook pertamanya berhasil dibuat.

“Facebook kamu apa? sini abang add jadi teman pertama,” katanya.

Konyolnya, aku merasa bahagia. Lalu aku mengetik namaku pada kolom pencarian dan begitu akun facebook-ku ketemu, Bang Rosyid mengklik tombol tambah pertemanan.

Tak lama ponselku bergetar tanda pemberitahuan dari facebook.

“Udah saya approve ya, Bang,” kataku.

“Waah.. kamu cakep ya? banyak foto-fotonya. Hehehe..” goda Bang Rosyid.

Aku tersenyum.

“Pasang fotonya gimana? Abang nggak ada foto di laptop,” tanyanya.

“Pake webcam di laptop abang aja,” jawabku sambil menunjukkan caranya. Ah, wajah tampan Bang Rosyid akhirnya terrekam kamera web dan menjadi foto profil facebook. Aku sudah pasti akan menyimpan fotonya.

“Nah, sekarang tinggal add akun istri abang semua,” ujarnya sumringah.

Mendengar itu aku tak kuasa menahan ekspresi wajahku menjadi muram. Bang Rosyid menyadari hal itu.

“Eh, ehm.. soal kemarin itu, abang minta maaf ya? itu… cuma enak sama enak aja kan…” gumamnya sungkan.

“Iya Bang. Cuma iseng.. Santai aja..” kataku berbohong. Aku tak ingin membuat Bang Rosyid menjadi takut kalau kubilang aku menyukainya.

Bang Rosyid tersenyum.

“Nanti malem, kamu nginep lagi aja ya? temenin abang nonton bola lagi?” tawarnya.

Aku mengangguk tak kuasa menolak.

***

Malamnya kami nonton pertandingan sepak bola bersama. Anehnya, Bang Rosyid tampak gelisah dan kelihatan tak berkonsentrasi pada pertandingan di layar televisi walau matanya tak lepas memandang ke depan.

Setelah acara menonton pertandingan yang lama dan menyiksa itu (karena kami berdua seperti salah tingkah), akhirnya kami beranjak juga ke kamar untuk tidur.

Tanpa banyak bicara Bang Rosyid langsung mengambil posisi membelakangiku di pojokan sambil memeluk guling. Sarungnya melingkar di pinggang menutupi bagian bawah tubuhnya. Tadinya aku hendak bertanya mengapa dia tak mematikan netbooknya lebih dulu yang masih menyala itu, namun urung kulakukan.

Aku berbaring di sebelah Bang Rosyid tak bisa memejamkan mata. Setelah beberapa lama aku berbalik memunggunginya. Tanpa disangka, aku terkejut ketika Bang Rosyid tiba-tiba memelukku dari belakang. Aku tak tahu apakah dia masih tertidur atau hanya berpura-pura saja karena masih terdengar suara dengkurannya.

Tiba-tiba tangan Bang Rosyid bergerak pelan di dadaku. Saat telapak tangannya menemukan puting dadaku, jemarinya perlahan mulai aktif memainkannya. Tak hanya itu, setelah beberapa lama, tangan Bang Rosyid berani masuk ke dalam kausku dan kembali mempermaikan putingku dan meremasnya beberapa kali.

Aku mendesis menikmati perlakuan Bang Rosyid. Saat itulah aku sadar Bang Rosyid sudah terbangun. Dengkurannya tak lagi terdengar. “Nggh.. bang..”

Bang Rosyid terus mendekapku makin erat. Kurasakan penisnya yang mengeras di balik sarungnya menekan bagian bawah punggungku. Kini tangannya berusaha menyelusup ke dalam celana pendekku. Aku menggelinjang dan mendekap lengan satunya Bang Rosyid yang melingkari dadaku sambil menggigit bibir ketika telapak tangan bang Rosyid yang satu berhasil masuk ke dalam celana pendekku dan menggenggam penisku.

“Ngg.. nggh..” Aku mengerang saat Bang Rosyid perlahan mulai mengocok dan meremas penisku.

“Hh… hh.. Abang.. enak..” desahku sambil menikmati kocokan tangan Bang Rosyid. Bang Rosyid diam saja. Aku tak berani berbalik menatap wajahnya.

Kocokan tangan Bang Rosyid makin cepat dan membuatku tak kuasa menahan diri saat batang penisku semakin tegang.

“Bang.. Karim mau kelua..r” desahku. Pinggangku akhirnya melengkung dan kutumpahkan spermaku di dalam celana. Sebagian membasahi telapak Bang Rosyid yang perlahan ditariknya keluar dan dibersihkannya di celanaku. Aku mengatur nafasku yang terengah-engah.

Kuberanikan diri membalik badanku dan kulihat wajah Bang Rosyid masih terpejam. Aku nekad membuka kausnya dan mulai mengulum kedua putingnya dengan lidahku. Tadinya Bang Rosyid hendak memberontak, namun dia menyerah oleh cumbuanku. Kurasakan badannya menggelinjang sedikit namun masih pura-pura tertidur. Aku makin bernafsu melumat puting Bang Rosyid. Membuatnya keenakan, mencumbui perutnya yang rata dan bergeser semakin ke bawah.

Bang Rosyid mengerang-ngerang nikmat. Aku semakin bersemangat dan masuk ke dalam sarung Bang Rosyid. Dia mendesah saat di dalam sarungnya aku kembali mengulum penisnya. Penis yang kurindukan sejak pertama kali aku mengulumnya. Kurasakan Bang Rosyid menekan kepalaku. Dari balik sarung aku mendengar dirinya semakin keras mendesah. Penisnya semakin tegang. Kujilat zakarnya yang berbulu dan langsung kurasakan pahanya menggelinjang sebentar. Nafsu Bang Rosyid rupanya sudah diubun-ubun. Tanpa ampun dia menahan kepalaku dan mulai menyodok-nyodok penisnya berulang kali ke mulutku semakin cepat. Sepertinya dia akan menumpahkan cairan spermanya ke dalam mulutku tanpa meminta persetujuanku lagi. Gerakannya makin cepat, genggaman tangannya di kepalaku makin kuat dan… setelah berdenyut beberapa kali, mulutku kembali banjir oleh air mani panas dan kental milik Bang Rosyid. Perutnya naik-turun dan kudengar dirinya menghela nafas lega.

Untungnya Bang Rosyid menyediakan segelas air di atas meja dan aku langsung meminumnya. Tanpa bicara, Bang Rosyid kembali menarikku ke pelukannya dan langsung tertidur. Dalam pelukannya aku merasa nyaman. Aku memejamkan mataku sambil tersenyum.

***

Kami dibangunkan oleh suara panggilan percakapan video dari netbook Bang Rosyid yang masih menyala. Gelagapan bang Rosyid melompat dari ranjang. Kulirik jam sudah pukul lima subuh lewat. Awalnya Bang Rosyid hendak menjawab panggilan video yang ternyata dari istrinya tersebut, namun gerakannya terhenti menyadari aku masih berada di kamarnya. Dia menoleh ke arahku yang masih terduduk di pinggir ranjang dan akan tertangkap gambarnya oleh webcam. Tatapannya seperti memohon namun tak berkata apa-apa.

Aku yang mengerti dengan kekhawatiran Bang Rosyid, mengangguk dan tersenyum sambil berjalan keluar kamarnya. Kusempatkan menepuk bahu Bang Rosyid seolah berkata “aku tak apa-apa” sebelum keluar.

Di luar rumah aku tak kuasa menahan emosi. Aku tiba-tiba merasa sangat sakit…

0 komentar:

Posting Komentar