Cerita Gay Melayu Malaysia,Indonesia & Singapore.

Rabu, 24 Februari 2016

BANG ROSYID DITINGGAL ISTRI 9

AKU tak perlu menunggu waktu lama untuk melabrak ibuku sendiri. Rasanya aneh bila semalam dia tidak mengetahui kelakuan suaminya yang diam-diam masuk ke dalam kamarku dan melecehkanku secara seksual.

Pagi itu, saat kami sarapan, aku mencoba beradu pandang dengan Pak Arman, ayah tiriku yang juga seorang Bupati. Anehnya, Pak Arman seolah tak terganggu dengan pandangan mataku yang yang menatapnya lekat-lekat. Setelah dia pergi, aku segera menghampiri ibuku. Rupanya dia seperti menghindariku setelah menyadari aku ingin berbicara dengannya.

“Ibu tahu kalau suami ibu berbuat enggak pantas sama anak ibu sendiri tadi malam?” tanyaku.

“Maksud kamu apa?” tanya ibu. Kedua alisnya tampak bertaut.

“Semalam Pak Arman masuk ke kamar Karim… dia..” aku menarik nafas panjang mencoba mengontrol kemarahanku dan berusaha menjelaskan apa yang terjadi semalam.

“Dia gerayangin badan Karim.. dia paksa Karim ngelayanin nafsu bejat dia..” lanjutku geram.

Anehnya, wajah ibu terlihat biasa saja. Tak ada perubahan mimik pada wajahnya mendengar sesuatu yang seharusnya sangat mengejutkan itu.

“Kalau ini cara kekakan-kanakan kamu supaya bisa kembali ke desa, percuma…” ucap ibu dingin.

“Maksud ibu, Karim ngarang cerita, gitu?” tanyaku tak percaya.

“Jelas sekali kamu belum dewasa dan berkhayal yang enggak-enggak. Pak Arman itu pria baik!” semprot Ibu.

“Memangnya Ibu enggak denger suara dari kamar Karim, hah?” tanyaku.

Ibu menghela nafas. Dia mengangkat dagunya tinggi-tinggi dan membalik badannya.

Aku yang tak puas, kemudian menarik lengan Ibu. Tiba-tiba ibuku memekik kesakitan. Aku heran, padahal aku tak terlalu keras memegang tangannya.

“Lho, ibu? kenapa?” tanyaku.

Kulihat ibu mengelus pergelangan tangannya yang tertutup blus lengan panjang berwarna putih. Ibuku memang hobi berpakaian tertutup sejenis blus lengan panjang sehari-hari. Dia tak menjawab. Kudekati dirinya dan kutarik lengan ibuku dan menggulung blusnya hingga siku.

Aku terkejut melihat lebam biru cukup besar pada lengannya. Terlihat seperti bekas pukulan yang sudah didiamkan beberapa lama. Aku mundur dua langkah dari ibu dan menatap matanya.

“Apa Pak Arman yang bikin ini ke ibu?” tanyaku memastikan.

Ibu tak menjawab. Matanya berputar ke kiri dan kanan seperti kebingungan. Dia seperti sedang berpikir mencari-cari alasan.

“I.. ini kemarin gara-gara tangan ibu kebentur pegangan tangga,” kata ibu.

“Pegangan tangga punya cakar juga ya, bu?” tanyaku lagi merujuk pada luka panjang seperti goresan kuku tak jauh dari bilur biru di lengan ibu.

Ibu mendengus kesal. Diturunkannya kembali lengan blusnya dan beranjak pergi.

“Ibu!” panggilku. Ibuku menghentikan langkahnya.

“Ayo pulang ke desa bu.. kita tinggal lagi sama nenek di sana… buat apa ibu bertahan di sini dengan orang itu..”

“Jangan jadi anak bodoh, Rim… ibu bersusah payah supaya bisa seperti sekarang ini,” kata Ibu.

“Lalu dengan konsekuensi tinggal dengan monster?” tanyaku.

“Jangan hina bapak kamu..” kata Ibu sambil membalik badannya.

“DIA BUKAN BAPAK KARIM!” teriakku.

Kulihat Ibu mengatupkan bibirnya sambil mengetatkan giginya menahan emosi. Jelas-jelas ibu sudah tak bisa berpikir jernih.

“Sekali lagi Pak Arman itu macam-macam sama Karim, Karim enggak akan tinggal diam!” ancamku sambil meninggalkan ibu.

***

Siang harinya, seorang ajudan memberikanku ponsel baru titipan Pak Arman lengkap dengan nomor barunya. Aku hafal nomor telepon nenek dan Bang Rosyid, tapi aku lebih memilih menelepon nenekku karena aku malu menceritakan kejadian ini pada Bang Rosyid.

Nenek sangat bahagia menerima telepon dariku. Tapi kebahagiaannya lenyap saat dia mendengar ceritaku di rumah baru ini. Nenek menangis putus asa dan ingin menjemputku. Aku mencoba menenangkannya dan memintanya bersabar. Kalau sampai Nenek menyusulku, aku malah mengkhawatirkan kesehatan dan keselamatannya.

“Karim pasti pulang nek.. gimanapun caranya Karim akan berusaha keluar dari rumah ini. Nenek jangan khawatir ya?” pintaku.

“Karim… hati-hati di sana… cepat kembali ke rumah nenek. Ajak ibu kamu sekalian,” kata nenek.

“Iya Nek.. nenek sabar, yah? Karim di sini bakalan hati-hati…” kataku menyudahi pembicaraan.

Aku benar-benar terkurung di rumah ini. Kabur begitu saja dari sini tidak menyelesaikan masalah. Walau aku tak begitu dekat dengan ibuku, sebagai anaknya aku masih mengkhawatirkan keselamatannya. Jika aku harus pergi dari sini, aku ingin ibu ikut serta. Jika hanya aku yang melawan Pak Arman, tanpa dibantu Ibu semuanya akan sia-sia.

Kekhawatiranku terjadi. Malam itu Pak Arman kembali mendatangi kamarku. Padahal jam baru menunjukkan pukul delapan malam dan belum lagi waktunya aku untuk tidur.

Saat Pak Arman menghampiriku, aku secara reflek menjauhinya.

“Karim enggak nyangka…” kataku.

“Enggak nyangka kenapa?” tanya Pak Arman sambil duduk di atas ranjangku.

“Kalau Karim lihat di televisi bapak itu ramah sekali. Enggak tahunya di rumah jadi monster penyiksa anak dan istri..” sindirku.

Pak Arman tertawa terbahak-bahak. Dia lalu bangkit dan menarik lenganku. Dia mendekatkan wajahnya pada pipiku dan mengendusnya seperti binatang buas menemukan mangsa.

“Jangan coba-coba lagi, Pak!” kataku memperingatkannya.

Pak Arman tampak gusar. Dia lalu mengulurkan tangannya dan menarik rambutku. Aku memekik kesakitan.

“Nggak ada yang berani ngelawan saya, ngerti!” hardiknya.

Kemudian Pak Arman melepaskan cengkeraman jarinya pada rambutku. Dia mendengus kesal. “Saya lagi enggak semangat malam ini,” katanya sambil keluar dari kamar.

Aku menarik nafas lega dan buru-buru menutup pintu kamarku dan menguncinya.

***

Aku terus memikirkan caranya bisa keluar dari rumah ini tanpa konflik. Bila aku pergi begitu saja, akan mudah bagi ibu dan Pak Arman menyusulku kembali ke desa. Sedangkan aku ingin kehidupanku di desa damai-damai saja tanpa harus pindah dari rumah nenek yang telah kudiami selama bertahun-tahun.

Saat aku melamun itulah, sore itu kudengar suara ramai di pintu gerbang rumah dinas ini. Kutanya pada seorang pelayan rumah, dan dia menjelaskan bahwa ada rombongan petani dari desa yang datang. Mereka datang membawa hasil bumi sebagai tradisi mengucap syukur dan terima kasih kepada pemimpin daerah. Tradisi ini sudah berlangsung lama dan mereka sebagai perwakilan akan dijamu oleh Bupati dan diajak serta dalam sebuah pertemuan di balairung.

Karena Pak Arman dan Ibu hari ini sedang pergi dan baru kembali besok, seluruh tamu itu diperkenankan menginap dalam sebuah pendopo tamu. Bangunan tanpa dinding yang biasanya digunakan untuk acara-acara pertemuan itu diletakkan belasan ranjang untuk tempat tamu dari desa itu beristirahat. Mereka yang datang rata-rata berusia tua, pria dan wanita walau beberapa ada yang tampak masih muda. Wajah-wajah mereka tampak keletihan. Aku melihat mereka dari kejauhan.

Malam harinya aku membantu pelayan rumah dinas menyuguhkan makanan kepada para tamu itu. Berkotak-kotak nasi lengkap dengan lauknya kubawa menuju pendopo. Mereka tampak senang dan antusias dengan suguhan yang dibawa. Apalagi, di pendopo itu diletakkan sebuah televisi layar lebar sebagai hiburan mereka malam ini menunggu acara besok.

Saat aku hendak menyerahkan sekotak nasi pada seorang pria yang selalu menundukkan wajahnya, tiba-tiba orang itu menarik tanganku. Betapa terkejutnya ketika aku melihat jelas wajahnya.

“Bang Rosyid?” desisku.

“Sssst.. ssst…” ujar Bang Rosyid sambil meletakkan telunjuknya pada bibir.

“Abang tahu kondisi kamu dari nenek dan mau jemput kamu. Cuma tadi pagi abang enggak tahu caranya masuk ke rumah ini dan kebetulan ada rombongan dari desa yang datang ke mari. Jadinya abang ikut mereka…” jelas Bang Rosyid.

Aku tak bisa menahan haru dan bahagia melihat Bang Rosyid ada di sini.

“Iya bang.. jangan di sini jelasinnya. Nanti malam abang ke kamar Karim. Karim jemput.” kataku sambil meremas telapak tangannya.

Bang Rosyid tersenyum dan menyuruhku pergi.

***

Malamnya, aku mengendap-endap keluar kamar. Bang Rosyid sudah menungguku di sudut pendopo dan diam-diam menghampiriku saat melihatku memberikan tanda padanya agar mendekat padaku. Aku dan Bang Rosyid kemudian menyelinap masuk kembali ke dalam rumah menuju kamarku.

Di dalam kamar aku dan Bang Rosyid langsung berpelukan dan berciuman.

“Pak Bupati itu nyakitin kamu?” tanya Bang Rosyid geram.

“Iya Bang.. tapi enggak usah dipikirin lagi. Yang penting Karim bakal pulang sama Abang..”

Aku memeluk Bang Rosyid kembali.

“Kangen bang…” kataku manja.

“Abang juga kangen Karim… Udah lama enggak mesra-mesraan..” kata Bang Rosyid sambil menciumi leherku.

“Bohong. Pasti ditinggal Karim, Abang langsung cari lobang lain deh..” ujarku sambil cemberut.

“Enggak, Karim sayangnya Abang… Abang nunggu ketemu Karim kok…” kata Bang Rosyid.

“Ih Abang romantis banget..” kataku tersipu.

“Tapi nggak tahu deh kalau minggu depan nggak ketemu. Paling abang pergi ke kecamatan nyari yang bisa dipake,” canda Bang Rosyid sambil tertawa.

“Huu.. Bang Rosyid jahat!” kataku sambil memukul lengannya manja.

Bang Rosyid kembali mencumbuku dengan bernafsu. Sepertinya benar dia sudah lama tak melakukan hubungan seks sejak ditinggal olehku. Saat aku mencoba mengisap puting dan penisnya, tak lama Bang Rosyid menghentikanku dan merebahkanku ke ranjang. Rupanya dia ingin mengambil alih kuasa atas tubuhku dalam permainan ini dan tak mengizinkanku untuk bergerak aktif dan menyuruhku agar menikmati saja cumbuannya.

Aku menggeliat dan menggelinjang tiap kali Bang Rosyid menyentuhkan bibirnya pada kulit-kulit yang berisi syaraf sensitifku.

“Hhh…” desahku saat Bang Rosyid mulai mengulum penisku.

Sadar bahwa nafsunya sudah mencapai ubun-ubun dan akan melampiaskannya padaku dengan cara yang panas, Bang Rosyid memastikan lubang anusku terlubrikasi dengan baik dan membuatkan dalam keadaan rileks. Berkali-kali dia menjilati lubang anusku dan menusuk-nusuknya dengan ujung lidahnya. Sesekali Bang Rosyid meludah agar anusku cukup licin menerima tusukan penisnya yang sudah sangat keras itu. Kalau sudah begini, aku merasa sedang terbang ke awang-awang menikmati setiap permainan lidah Bang Rosyid yang lincah menjelajahi belahan pantatku.

“Ouuw Abaaang…” erangku sambil melengkungkan punggungku.

Tak lama, setelah Bang Rosyid yakin diriku siap, dia bangkit dan mengangkat kedua kakiku tinggi-tinggi. Matanya menatapku tajam. Aku mengerang saat penis Bang Rosyid mulai menancap pada anusku. Kupegangi penisku dan mulai mengocoknya sambil mendesah.

“Auuh..” erangku ketika seluruh batang penis Bang Rosyid melesak masuk ke dalam anusku.

Tanpa menungguku terbiasa, Bang Rosyid mulai memacu gerakan pinggulnya dengan cepat. Dia menggeram sesekali sambil menikmati jepitan dinding anusku pada batang penisnya.

Tubuhku terlonjak-lonjak. Bang Rosyid dengan gagah terus memompa pinggangnya. Tubuhnya mulai berkeringat. Kudengar dia menggeram dan mengerang beberapa kali. Telapak tangannya mencengkeram erat pergelangan kakiku. Kubuka pantatku lebar-lebar dan penuh kepasrahan menerima setiap rojokan batang penis Bang Rosyid dengan tujuan memuaskannya.

“Ouw bang.. terus bang… uuh.. uhh..” erangku menyemangatinya. Dan seketika aku mencapai puncak orgasme dan memekik kecil sambil menyemburkan spermaku.

Melihat itu Bang Rosyid semakin bersemangat. Hentakannya semakin keras dan dia mencondongkan tubuhnya ke arahku.

“Karim suka kalau abang keluarin di dalem, hah?” geramnya.

“Suka bang.. Kayak dihamilin Bang Rosyid..” jawabku.

“Karim suka kalau abang hamilin, hah?” geramnya lagi. Gerakan penisnya semakin cepat dan dalam.

“Iya bang.. hamilin Karim bang… ah.. auuww..” jeritku.

Bang Rosyid menggeram sambil memejamkan mata. Tubuhnya yang berkeringat bergetar saat penisnya bersarang dalam-dalam pada anusku. Dia mengetatkan giginya sambil mencengkeram bahuku.

“Aaaahhh…” lenguh Bang Rosyid sambil menembakkan lava panasnya di dalam pantatku dan terasa hangat sampai ke perutku sehingga aku menggigil akibat gelenyar sensasi
aliran sperma Bang Rosyid dalam ususku itu.

Bang Rosyid menggelepar kehilangan keseimbangan. Buru-buru kupeluk tubuh kekarnya dan mencium lembut pipinya berusaha menenangkannya dari sensasi ledakan orgasme maha dahsyat yang baru saja dia alami sementara batang penisnya masih menancap pada anusku.

Aku sebenarnya ingin tidur bersama Bang Rosyid hingga pagi. Sayangnya, hal itu tak mungkin. Setelah membersihkan diri, Bang Rosyid memakai kembali pakaiannya.

“Pas acara sudah setengah jalan, Karim bawa barang Karim dan tunggu di parkiran. Jadi setelah acara selesai, abang bakal kembali ke parkiran, naik bus yang udah disediain dan kita sama-sama kembali ke desa. Gak akan ada yang nyadar kamu pergi karena acaranya ramai, ngerti?” kata Bang Rosyid.

“Ngerti bang.” jawabku.

“Sip. Abang balik dulu,” kata Bang Rosyid sambil mencium bibirku.

***

Keesokan paginya, acara penyerahan hasil bumi dilakukan jam sepuluh pagi. Ibu dan Pak Arman yang baru datang dari luar kota langsung menuju pendopo yang kembali disulap menjadi tempat acara.

Aku sengaja menunjukkan wajahku pada mereka agar mereka tahu aku tak kemana-mana. Kulihat Bang Rosyid di antara tamu petani sambil memakai topi berladangnya dan pura-pura serius mengikuti acara.

Ketika acara sudah setengah jalan, Bang Rosyid dari kejauhan menganggukan kepalanya tanda aku harus bersiap-siap. Aku bergegas kembali ke dalam rumah yang sepi karena seluruh isi rumah berada di pendopo menyaksikan acaranya.

Kuambil tasku dan mengendap-endap menuju parkiran. Aku berlindung di belakang bus tak jauh dari sebuah pohon dan menunggu hingga acara selesai. Dengan cemas aku melihat ke sekeliling parkiran yang sepi.

Lima belas menit kemudian kulihat rombongan petani itu keluar dari halaman dan berjalan menuju parkiran. Kucoba mencari Bang Rosyid namun karena mereka terlalu ramai, aku tak bisa menemukannya. Aku lalu bersembunyi di balik pohon mengawasi satu persatu petani desa yang naik ke dalam bus namun tak ada satupun Bang Rosyid di antara mereka.

Aku menjadi sangat cemas ketika tak ada lagi rombongan petani yang masuk dalam bus dan mereka mulai menyalakan mesin kendaraanya.

Ini aneh! kemana Bang Rosyid? apa mungkin dia tidak melihatku dan malah ikut ke dalam bus? dalam kebingungan aku masih tetap bersembunyi di balik pohon dan kecemasanku semakin bertambah ketika akhirnya bus itu pergi meninggalkan rumah dinas Bupati.

“Mas Karim..”

Sebuah suara mengagetkanku. Seorang pelayan menepuk pundakku.

“Oh! eh!” kataku gelagapan.

“Mas Karim.. dipanggil pak Bupati ke ruangannya…”

“I.. iya..” jawabku gugup. Aku terpaksa menurut karena tak tahu apa yang terjadi.

Saat aku tiba di ruangan Pak Arman, aku mendapatinya sedang duduk di meja kerjanya. Dia menyuruh pelayan keluar dan menutup pintu.

“Mau ke mana kamu pakai tas segala?” tanya Pak Arman.

“Eh.. itu.. anu pak..” jawabku gugup.

Kata-kataku mendadak lenyap saat kulihat topi berladang yang tadi dipakai Bang Rosyid, kini sudah berada di atas meja tamu Pak Arman. UNTUK PART 10 SILA KLIK

0 komentar:

Posting Komentar