Cerita Gay Melayu Malaysia,Indonesia & Singapore.

Rabu, 24 Februari 2016

BANG ROSYID DITINGGAL ISTRI 1

SETIAP sore aku punya kebiasaan baru: duduk di teras depan rumah sambil membaca buku pelajaran. Sebenarnya niatku bukan agar aku semakin menguasai pelajaran sekolah. Aku selalu mendapat rangking tiga besar di sekolah sejak SD hingga kelas dua SMU sekarang ini. Aku juga bisa membuat bangga nenekku dengan mendapatkan beasiswa. Maklum saja. Aku tinggal dengan nenek yang seorang pensiunan janda dengan keadaan ekonomi kurang mampu. Orangtuaku bercerai sejak aku SD dan tak ada satupun yang mau mengasuhku sejak mereka masing-masing memiliki keluarga baru. Jadilah Nenek dari pihak ibuku yang menampung aku di rumahnya. Aku membantu Nenek berjualan di warung kecil depan rumah sejak pulang sekolah hingga sore hari.

Lalu apa niatku sebenarnya? Walau dari tadi aku memegang buku pelajaran Fisika, tapi sebenarnya tak satupun rumus masuk ke otakku. Bahkan sudah sepuluh menit aku tak membuka halaman berikutnya dari buku yang kupegang. Alasannya? jam lima sore begini adalah waktunya Bang Rosyid tetanggaku pulang dari kebun dan sawah. Diam-diam aku selalu menantikan momen kepulangannya. Dengan wajah lelah, kulit coklatnya yang menggelap bekas terpapar matahari namun mengilap oleh keringat dan menonjolkan lekuk otot-otot tubuhnya. Walaupun terlihat lelah, Bang Rosyid yang ramah itu masih menyempatkan diri menyapaku dan nenek sebelum masuk ke rumahnya. sapaannya memang terkesan basa-basi seperti misalnya “Mau ulangan, Rim?” “Wiih, belajar yang rajin ya!” “Kalo udah lulus langsung jadi profesor, nih!” Tapi aku suka mendengarnya. Tulus dan… siapapun akan terpesona pada senyumnya yang menambah ketampanan wajahnya.

Bang Rosyid tinggal sendiri. Pria 27 tahun itu sudah hampir setahun ditinggalkan oleh istrinya yang nekad mengadu nasib menjadi TKI di Dubai. Mereka belum dikaruniai anak. Konon menurut gosip tetangga yang didengar oleh Nenek, Bang Rosyid tak pernah setuju istrinya pergi. Itulah sebabnya, walau penghasilan istrinya lumayan besar dan mengirimkan uang setiap bulan, sebagai bentuk protes, Bang Rosyid tak sudi menerimanya. Dia malah menyerahkan uang itu pada mertuanya yang dengan senang hati digunakan untuk membangun rumah mereka yang letaknya di kecamatan sebelah. Bang Rosyidpun sering terlihat murung. Sehari-hari untuk menafkahi diri, dia bekerja di sawah dan kebunnya mengurus tanaman dan ternak. Aku yakin Bang Rosyid sebenarnya tak kekurangan materi. Hanya saja tak adanya istri membuat dirinya memilih hidup sederhana di rumah kayu seperti halnya rumahku. Pekerjaan rumah tangga sehari-hari dilakoninya. Kadang Nenek merasa tak tega dan sering menyisihkan sebagian masakannya untuk Bang Rosyid sebagai imbalan dari hasil kebun dan ternak yang tanpa perhitungan sering diberikan sebagian pada Nenek. Aku kagum dengan Bang Rosyid. Rasa kagum itu lama-lama menumbuhkan rasa suka. Itulah sebabnya, kini aku punya kebiasaan baru: menunggu Bang Rosyid pulang.

“Wuiiih.. anak rajin biar malam minggu belajar teruss..”

Suara Bang Rosyid membuyarkan lamunanku. Aku gelagapan dan langsung salah tingkah. “Eh, baru pulang, bang? wah, bawa apa tuh?”

“Petai lagi berbuah nih! gede-gede lagi! ada kali tadi Abang panen dapat segerobak buat dijual. Ini abang bawain buat Nenek kamu. Siapa tahu nanti dimasakin sayur,” kata Bang Rosyid sambil mengangkat seikat petai tinggi-tinggi hingga ketiaknya yang berbulu rapi itu terlihat jelas dan membuatku meneguk ludah.

“Syid.. repot-repot aja. Singkong yang kamu kasih kemarin aja baru Nenek rebus sebagian. Karim, ayo ambilin di dapur! Nenek sudah pisahin di piring buat Rosyid,” perintah Nenek yang tiba-tiba keluar dari dalam rumah setelah mendengar suara Bang Rosyid.

“Nggak apa-apa, Nek. Saya tahunya kan petai itu dibakar aja buat lalap. Kalau dibikin sayur mah, Rosyid nggak bisa. Hehe..” kata Bang Rosyid sambil menyerahkan seikat petai itu padaku yang tak berani memandang wajahnya.

“Kalau gitu, besok Nenek bikinin sayur lodeh pepaya campur petai, ya?” tawar Nenek.

“Alhamdulillah..” sahut Bang Rosyid sambil tertawa.

Aku kemudian mengambil sepiring singkong rebus yang tampak menggugah selera. Masih panas dengan asap mengebul yang wangi. Bang Rosyid tampak gembira menerima singkong rebus itu dari tanganku.

“Wah.. Asyik nih buat nonton Piala Dunia nanti malem!” sahut Bang Rosyid.

“Loh, abang enggak nonton bareng di kelurahan?” tanyaku.

Mendadak Bang Rosyid terdiam. Aku baru sadar. Sejak ditinggal istrinya, Bang Rosyid jadi lebih menutup diri dan tak bergaul banyak dengan warga desa lain. Katanya dia tak tahan diledek oleh orang-orang mengenai istrinya yang bekerja sebagai TKI. Dia hampir berkelahi dengan seorang warga yang terus meledeknya saat tugas ronda. Itulah sebabnya, Bang Rosyid lebih suka di rumah saja.

“Di rumah aja, Rim. Kamu nonton di kelurahan?” tanya Bang Rosyid.

“Eh.. ehm.. enggak, Bang. Di rumah aja nontonnya,” kataku berbohong. Aku tidak suka olahraga sepak bola dan sama sekali tidak mengikuti Piala Dunia tahun ini yang diselenggarakan di Brazil.

“Oh gitu. Kamu jagoin siapa?” tanya Bang Rosyid lagi.

Nah loh! jagoin siapa ya? pikirku bingung. Dengan asal-asalan aku menjawab. “Pegang Spanyol bang! yakin deh mereka juara!” jawabku mantap.

Bang Rosyid langsung terbahak. “Rim.. rim.. enggak nonton bola ya nggak usah pura-pura… Spanyol kan udah pulang duluan minggu kemarin!”

Aku tersipu malu.

“Makanya tuh Syid.. ajarin si Karim main bola. Suruh dia ikut nonton, jangan belajar melulu…” kata Nenek.

“Kalau gitu temenin abang nonton aja nanti malem. Siapa tahu kalau udah nonton kamu malah suka,” tawar Bang Rosyid.

Bukan nonton barengnya yang membuatku tercekat dan senang bukan kepalang. Akan tetapi kesempatan berdekatan dengan Bang Rosyid semalaman itulah yang membuat perasaanku membuncah.

“Gapapa bang?” tanyaku tak percaya.

“Ya nggak apa-apa lah.. malah seneng kalau ada temen nonton bola,” kata Bang Rosyid.

“Oh.. oke bang.. Nanti malem Karim dateng,” kataku senang.

****

Aku mengetuk pintu rumah Bang Rosyid malam itu. Selembar sarung sudah terkalung di leherku untuk menghalau udara dingin malam hari. Tadi nenek sudah berpesan, jika kemalaman menginap saja di tempat Bang Rosyid. Aku mengiyakan karena tak tega membangunkan Nenek dini hari.

“Masuk Rim.. udah mau mulai tuh!” kata Bang Rosyid sambil mengunyah singkong rebus dari Nenek yang rupanya telah dia panaskan sebagai teman minum kopi hitam pekat di atas meja.

Aku duduk dengan ragu dan menatap layar TV. Bang Rosyid memakai kaus singlet putih dan celana pendek hitam. Mulutnya tak berhenti mengunyah singkong rebus saat menonton pertandingan. Aku mencoba menikmati pertandingan dan sesekali melihat antusias Bang Rosyid yang berteriak-teriak dan berkomentar kencang sambil menonton.

“GOOOOLLL!!!!” teriaknya keras-keras sambil melompat dari duduknya mendekati pesawat televisi. Aku hanya tersenyum geli melihat tingkahnya.

“Ah! Karim nggak asik nih! nontonnya diam aja!” canda Bang Rosyid sambil mengacak rambutku. Aku terkekeh malu.

Setelah pertandingan selesai, aku mulai mengantuk dan tak bersemangat. Sebenarnya masih ada satu pertandingan lagi. Namun sudah lewat tengah malam dan tampaknya Bang Rosyidpun mengantuk dan tak berminat menonton pertandingan selanjutnya.

“Tidur aja, Rim! abis ini nggak minat,” kata Bang Rosyid.

Aku mengangguk dan mengikutinya menuju kamar. Menyadari akan tidur satu ranjang bersama Bang Rosyid, malah membuat kantukku hilang. Bang Rosyid naik lebih dulu ke atas ranjang dan memilih posisi di pojok. Aku mengikutinya sambil membenarkan posisi sarungku sebagai selimut malam ini.

“Maaf sempit,” kata Bang Rosyid.

“Gapapa bang..” ujarku.

Dengan jantung berdegup, aku berbaring di sebelah Bang Rosyid. Kaku dan salah tingkah. Kulihat Bang Rosyid yang tidur telentang telah menutup wajahnya dengan sebuah bantal. Aku sebenarnya ingin meminjam guling yang letaknya di pojok namun sungkan untuk mengambilnya.

“Bang.. maaf.. mau pinjam guling,” kataku.

“Ambil aja Rim,” katanya sambil beringsut.

Aku mengulurkan tangan melewati pinggang Bang Rosyid. saat aku menarik gulingnya, tanpa sengaja tanganku menyentuh daerah selangkangan Bang Rosyid.

“Eh! maaf bang..” kataku malu. Aku merasakan tonjolan itu sangat keras.

Bang Rosyid mengintip dari balik bantal dan tersenyum geli.

“Ih.. kok keras bang?” tanyaku.

“Ah.. kamu kayak nggak tau aja. Biasanya kan ada istri buat ngelemesin..” kata Bang Rosyid bercanda.

“Kalau saya tegang biasanya sih dikocok aja, bang..” kataku polos.

Buk! Bang Rosyid tiba-tiba memukul wajahku dengan bantalnya.

“Aduh! kok saya dipukul, Bang?” protesku.

“Ya beda lah! kalau udah nikah itu, tau rasanya lobang, males ngocok lagi kayak anak ingusan.. ngerti?” kata Bang Rosyid serius. Tapi lama-kelamaan dia terkekeh juga.

“Udah tidur sana…” perintahnya sambil menutup kembali wajahnya dengan bantal.

“Tapi Bang, daripada enggak bisa dituntasin, kan lebih baik dikocok, bisa juga dikocokin sama orang lain…” pancingku.

Aku benar-benar nekad malam itu. Masa bodoh apabila Bang Rosyid sampai marah dan menendangku keluar rumahnya. Setidaknya aku berusaha dan berani mengambil resiko demi abang yang aku kagumi ini.

Kulihat Bang Rosyid menatapku kebingungan. Tapi dia sendiri tidak menegur sikapku yang tak sopan.

“Pasti Kak Yus kalau lihat abang tegang gini, langsung bantuin ngocok dulu… sambil dikulum mungkin?” godaku sambil memberanikan diri mengulurkan tanganku mendekati selangkangannya.

Kulihat jakun Bang Rosyid bergerak tanda sedang menelan ludah. “Kok.. kamu tahu?” ujar Bang Rosyid lirih.

Aku tak menjawab. Kubalas pertanyaan Bang Rosyid dengan senyuman. Aku beringsut mendekati selangkangannya. Bang Rosyid kaku tak bergerak. Dia juga tak melawan saat aku menurunkan celana pendeknya hingga penis kerasnya menyembul bebas keluar. Lega.

Kukagumi penis Bang Rosyid yang walau diameternya tak begitu tebal, namun cukup panjang dengan hiasan urat berkelok-kelok pada batangnya. Lubang anusku langsung berdenyut membayangkan benda sepanjang dan sekeras ini bila menembus ke dalamnnya, pastilah bisa menghajar titik prostatku berkali-kali dengan mudah.

“Hmm…” gumamku sambil mulai mengocok penis Bang Rosyid. Kudengar nafas Bang Rosyid makin memburu. Perut dan dadanya naik-turun tanda kegugupan. Aku mencoba meraba puting Bang Rosyid dengan tangan satunya. Namun Bang Rosyid menepisnya. Aku tak meneruskan usahaku khawatir Bang Rosyid akan berubah pikiran setelah sampai sejauh ini.

Dari ujung lubang penisnya, setetes cairan bening keluar. Aku mencicipinya dengan ujung lidahku dan membuat Bang Rosyid mendesis dan perut sixpacknya berkontraksi. Setelah puas menjilati kepala penisnya, perlahan sambil terus kukocok dengan irama stabil, batang penisnya mulai kumasukkan ke dalam mulutku.

“Aaaaahh…” gumam Bang Rosyid. Giliran kakinya yang berkontraksi saat setengah batang penisnya telah masuk ke dalam mulutku. Kurasakan sensasi gelitik urat-urat batang penis Bang Rosyid pada lidahku dan rambut kemaluannya yang menggosok daguku. Kepalaku saat itu kusandarkan pada perut Bang Rosyid sambil mengulum penisnya.

“Hhh…. hhhmmm….. ungggh….”

Bang Rosyid mendesah, melenguh, mengerang pelan saat aku mempermainkan batang penisnya dalam kehangatan dan kelembaban rongga mulutku. Tiba-tiba setelah beberapa lama, Bang Rosyid menghentikan gerakannya dan mengeluarkan penisnya dari mulutku. Aku menoleh padanya sambil mengusap bibirku yang basah oleh liur.

“Kenapa berhenti, Bang?” tanyaku.

“Awas Rim.. abang mau keluar…” bisiknya.

Aku tersenyum penuh arti. “Terusin aja Bang.. mulut Karim siap nampung…” kataku sambil kembali meletakkan kepalaku pada perutnya dan kembali mengulum penisnya.

Bang Rosyid menuruti keinginanku. Dia lalu menekan kepalaku dengan telapak tangannya. Kemudian Bang Rosyid mulai menggerakkan pinggulnya sehingga penisnya mulai bergerak cepat menyenggamai mulutku.

“Auw… oooowwhhh.. hmmmffff…. mulut kamu… uuuffff…” erang Bang Rosyid sambil mencengkeram rambutku dan terus menggoyang pinggangnya.

“Hmmm… ummm… uuummm…” aku menggumam setengah menjerit menyemangati Bang Rosyid menyetubuhi mulutku.

“Ouuuuh…. anjiiiiinkk… abang mau kel…. arrggghhhh…” bersamaan dengan erangan panjang terakhir itu, kurasakan penis Bang Rosyid berdenyut dan berkontraksi lalu menyemburkan cairan hangat kental berkali-kali tepat masuk ke dalam kerongkonganku.

Tubuh Bang Rosyid bergetar. Punggungnya melengkung sambil mencengkeram kepalaku erat-erat memaksaku menelan seluruh saripati nafsunya yang tertahan selama ini. Kudengar dia mendesis dan mengerang sampai akhirnya semburan spermanya tuntas hingga tetes terakhir.

Aku bersusah payah menelan semua cairan sperma pria yang kukagumi itu. Setelah berhasil, aku menoleh menatap wajah Bang Rosyid sambil tersenyum seolah aku mengatakan bangga telah membuatnya merasa puas. Bang Rosyid tersenyum ke arahku seperti mengucapkan terima kasih. Dia lalu membetulkan celana dan kausnya dan langsung memelukku dan tertidur. Sebenarnya mulutku merasa tak enak dengan sisa sperma Bang Rosyid dan ingin minum segelas air. Tapi aku takut jika lepas dari pelukannya walau sesaat saja, Bang Rosyid akan berubah pikiran dan tak lanjut memelukku.

Kupejamkan mata dan mencoba untuk tertidur. Benar-benar malam yang luar biasa…

0 komentar:

Posting Komentar