Cerita Gay Melayu Malaysia,Indonesia & Singapore.

Rabu, 24 Februari 2016

BANG ROSYID DITINGGAL ISTRI 5

“JANGAN sms-an dulu ya rim?”

Begitu kalimat yang tertera pada layar ponselku. Itu adalah peringatan dari Bang Rosyid agar aku tak menghubunginya dulu. Kekhawatirannya dimulai sejak Kak Yus, istrinya yang bekerja sebagai TKI di luar negeri mendadak kembali tanpa pemberitahuan. Padahal aku sudah merasa bahwa Bang Rosyid sepenuhnya milikku. Tentu saja itu sebuah pemikiran yang bodoh. Bang Rosyid selamanya akan menjadi suami Kak Yus bila mereka tak berpisah. Kalaupun tak sekarang, suatu saat juga Kak Yus tetap akan kembali.

“Rim.. Karim.. sini keluar sebentar. Yus bawa oleh-oleh nih,” panggil Nenek dari ruang tamu.

Aku meletakkan ponselku di meja dan menarik kausku agar lebih rapi sebelum keluar kamar. Aku tidak terlalu dekat dengan Kak Yus. Dulu, sebelum dia pergi keluar negeri kami jarang bertegur sapa. Itu karena Kak Yus berasal dari kecamatan lain. Mungkin sesekali dia dan nenek mengobrol, tapi aku lebih tertarik memerhatikan Bang Rosyid daripada memedulikan istrinya.

Aku tiba di ruang tamu. Kak Yus sudah duduk dan sedang mengobrol sambil tertawa-tawa dengan nenek. Di atas meja ada kantung kertas tebal dengan tulisan bagus berwarna emas. Aku mengangguk pada Kak Yus sambil tersenyum. Aku menghampirinya lalu meraih tangannya dan menempelkan punggung tangannya pada dahiku. Kak Yus terlihat makin cantik. Mungkin di luar negeri dia rajin merawat diri. Rambutnya yang lewat sebahu tampak hitam mengilat. Kulitnya bersih dan mulus seperti sudah tersentuh perawatan mahal.


“Maaf nek, Yus beres-beres dulu di rumah.. baru sempat antar oleh-oleh buat nenek,” kata Kak Yus ramah.

“Aduh Yus.. enggak usah repot-repot…” kata Nenek basa-basi.

“Enggak apa-apa nek, kata Bang Rosyid nenek sering masak buat abang selama Yus pergi. Ini enggak ada apa-apanya dibanding nenek yang udah bantu ngerawat abang,” kata Kak Yus lagi. Dia lalu menyerahkan sebuah bungkusan plastik berwarna cerah kepada nenek.

“Ini kain tenun khas di sana. Kayaknya cocok buat nenek pergi ngaji atau kondangan,” kata Kak Yus.

Nenek mengeluarkan selembar kain bermotif cerah yang nampak bagus dan halus lalu wajahnya berubah gembira.

“Wah, Yus, bagus sekali.. terima kasih, ya?” kata nenek.

Kak Yus tersenyum senang. Kemudian dia mengambil kantung plastik lainnya. Kali ini berisi sebuah kotak panjang berbau harum.

“Nah, Karim pasti suka cokelat, kan? Nih.. kak Yus bawain buat Karim..” katanya sambil tersenyum tulus.

Aku yang sedari tadi diam tak berani menatap mata Kak Yus, dengan berat hati tersenyum juga sambil menerima pemberiannya.

“Umm.. Nek, sebenarnya Yus mau tanya sesuatu, tapi…” tiba-tiba Kak Yus mendadak serius. Dia seperti ingin melanjutkan ceritanya namun ragu karena melihatku masih berada di situ.

Sadar bahwa Kak Yus hendak bercerita sesuatu yang mungkin bersifat pribadi, Nenek menyuruhku masuk.

“Rim, bawa oleh-oleh ini ke dalam dulu, gih.. biar Kak Yus nenek temani,” suruh nenek.

Awalnya aku ragu karena ingin tahu juga apa kira-kira yang akan dikatakan oleh Kak Yus. Namun aku menuruti perintah nenek.

Di dalam, diam-diam aku menguping pembicaraan Kak Yus dan nenek.

“Kamu mau tanya apa, Yus?” tanya nenek pelan.

“Um.. begini nek, apa.. apa selama ini nenek lihat ada tanda-tanda Bang Rosyid.. um.. selingkuh?” tanya Kak Yus hati-hati.

Aku tercekat mendengar pertanyaan itu. Dengan berdebar aku menunggu respon nenek.

“Yus.. nenek enggak suka mata-matain orang, apalagi ikut campur urusan orang lain.. tapi setahu nenek, Rosyid itu sehari-hari kerja keras… suami kamu itu rajin dan pekerja keras, enggak pernah nenek liat dia kelayapan abis pulang dari ladang..” jelas nenek.

“Gitu ya, nek? habisnya Bang Rosyid kayak enggak senang Yus pulang… takutnya dia udah kecantol perempuan lain…” keluh Kak Yus.

“Kamu harus sabar Yus.. bukannya nenek suka gosip, ya.. tapi kabarnya Rosyid enggak suka kamu jadi TKW. Gaji dari kamu aja enggak dia pakai, kan?” kata nenek.

“Iya Nek.. Mungkin Yus harus lebih bersabar aja.”

“Nah, gitu dong..”

Akupun diam-diam kembali ke kamarku.

Saat aku kembali ke kamar, kulihat ada pesan dari Bang Rosyid di ponselku .

“Nanti malam ketemu abang di saung. Abang akan cari cara bisa keluar.”

Aku menghela nafas. Bukannya aku tak ingin bertemu dengan Bang Rosyid. Hanya saja, keadaan kini sudah berbeda sejak kedatangan Kak Yus. Tapi aku putuskan untuk mengambil resiko bertemu dengan Bang Rosyid nanti malam.

***

Jam di ujung layar ponselku sudah menunjukkan jam sembilan malam, aku merasa inilah saatnya aku berangkat. Tentu saja aku akan diam-diam keluar rumah tanpa sepengetahuan nenek. Kudengar nenek sudah selesai mengaji dan beberapa saat kemudian tak lagi terdengar suaranya. Pasti nenek sudah tertidur. Aku lalu meraih lampu darurat dan sarung yang lalu kulingkarkan pada bahuku. Perlahan kubuka jendela kamarku agar tak menimbulkan suara. Dengan satu gerakan mulus, aku berhasil keluar rumah setelah memastikan tak ada seorangpun yang lewat di luar.

Tadinya aku berniat untuk langsung pergi ke saung milik Bang Rosyid. Kupikir dia sudah berada di sana. Tapi aku mendengar dari arah rumahnya suara orang bercakap-cakap. Aku mengendap-endap lalu berjongkok tepat di bawah jendela kamar Bang Rosyid di balik sebuah gentong besar yang bayangannya membuatku semakin tak terlihat orang yang mungkin saja lewat di depan rumahku.

Aku mengenali kedua orang yang bercakap-cakap itu: Kak Yus dan Bang Rosyid.

“Abang! ngapain malam-malam ke sawah sih, bang?” tanya Kak Yus.

“Sebentar lagi udah mau panen, malam-malam itu banyak hama yang keluar. Abang harus pastiin mereka enggak makan tanaman, Yus!” kata Bang Rosyid ketus.

Aku mendengarkan sambil berharap-harap cemas.

“Tapi Yus kan baru pulang Bang, masa mau pergi malam ini?”

“Abang kan udah temenin kamu dua hari ini, sawah enggak keurus, Yus!” kata Bang Rosyid beralasan.

“Pokoknya Abang enggak boleh pergi!” suara Kak Yus mulai meninggi.

“Apa-apaan kamu?” bentak Bang Rosyid.

Aku yang mendengarkan mendadak khawatir. Kunaikkan kepalaku berusaha mencari tahu apa yang terjadi. Rupanya dinding kayu rumah Bang Rosyid terdapat sebuah lubang yang cukup besar untukku bisa melihat apa yang terjadi di dalamnya. Aku meneguk ludah sekali dan berusaha sekuat tenaga menjaga nafasku tak terdengar.

Rupanya Kak Yus yang saat itu memakai daster memaksa Bang Rosyid membuka kausnya. Aku bisa melihat punggung kekar Bang Rosyid yang terbuka karena tubuhnya membelakangiku. Sejurus kemudian, Kak Yus melepas dasternya dan memeluk Bang Rosyid. Aku tercekat melihat pemandangan itu. Awalnya Bang Rosyid berusaha menolak, tapi Kak Yus terus memeluk erat suaminya.

“Abang marah sama Yus? enggak kangen sama Yus?” tanya Kak Yus sambil meletakkan telapak tangan Bang Rosyid pada payudaranya yang terbuka. Memohonnya untuk meremas kedua bukit itu.

Bang Rosyid hanya bereaksi sedikit. Lalu Kak Yus berlutut dan membuka celana Bang Rosyid hingga giliran pantatnya yang terlihat jelas olehku. Jemari Kak Yus mencengkeram lembut kedua belah pantat Bang Rosyid sementara dari balik tubuh Bang Rosyid kulihat kepala Kak Yus bergerak-gerak karena sedang memberikan servis oral kepada suaminya.

Kudengar Kak Yus merintih. Bang Rosyid juga mulai mendesah. Dia lalu memegang lengan Kak Yus dan membimbingnya ke ranjang. Lalu Bang Rosyid menggeram saat dia menindih Kak Yus di atas ranjang. Rintihan Kak Yus semakin keras seiring dengan tubuhnya yang bergerak-gerak di atas ranjang. Kedua kakinya dia angkat tinggi-tinggi dan diletakkannya di kedua bahu Bang Rosyid.

Rintihannya menjadi erangan yang kencang. Bang Rosyid juga bergerak-gerak. Kulihat pinggangnya bergerak liar membuat penisnya terus menyetubuhi istrinya. Kudengar dia menggeram. Cukup lama mereka bergerak-gerak di atas ranjang saling berangkulan dan berciuman. Wajah Bang Rosyid dibenamkan pada kedua payudara istrinya. Cahaya dari lampu kamar membuatku bisa melihat wajah Kak Yus yang menikmati permainan itu.

“Ngggh.. abang… nggh.. hh.. Yus kangen..” rintih Kak Yus. Diangkatnya kepalanya dan kedua tangannya mencengkeram bahu Bang Rosyid. Tak lama giliran kedua pahanya mencengkeram pinggang Bang Rosyid. Kulihat tubuh Bang Rosyid bergetar dan dia melengkungkan punggungnya ke atas. Kak Yus merintih panjang berbarengan dengan erangan Bang Rosyid. Lalu keduanya ambruk di atas ranjang sambil terengah-engah.

Aku lalu bangkit dan mengendap-endap kembali ke kamarku. Dadaku sesak. Yang aku tahu, malam ini pertemuanku dan Bang Rosyid batal.

***

“Rim! Karim!” panggil Bang Rosyid saat aku berjalan pulang dari sekolah sendirian sore itu.

Aku hanya menoleh sekilas dan terus berjalan mengabaikan Bang Rosyid yang berlari-lari menyusulku.

“Hei! Karim! tunggu sebentar!”

“Ada apa, bang?” tanyaku dalam nada yang dibuat-buat sangat sabar.

“Maafin abang, Karim semalam jadi ke saung?” tanya Bang Rosyid.

“Enggak bang. Karim ketiduran,” jawabku berbohong.

“Abang mau bicara, kita ke saung..” ajak Bang Rosyid tanpa meminta persetujuanku. Kemudian dia berjalan masuk ke dalam kebun. Aku terpaksa mengikutinya.

Saat tiba di saung, Bang Rosyid langsung meletakkan topinya dan memelukku.

“Eh, abang! masih siang! nanti kalau Kak Yus atau orang lihat gimana?” tolakku panik.

“Yus lagi pulang ke rumah orangtuanya, saung abang jauh dari jalan… nggak ada yang berani ke sini..” kata Bang Rosyid sambil memelukku kembali.

“Bang…” kataku.

“Abang kangen Karim…” gumam Bang Rosyid. Tiga kata itu berhasil membuatku luluh kembali dalam pelukannya. Aku seolah lupa pada kekecewaan dan kemarahanku.

Bang Rosyid lalu membuka kancing seragamku satu persatu. Awalnya dia hendak membuka seragamku, namun niatnya urung. Aku hanya pasrah saat Bang Rosyid mengambil kendali permainan sore itu. Dilumatnya bibirku beberapa lama. Kemudian cumbuannya bergeser dan dengan lidahnya Bang Rosyid membuatku melayang keenakan saat dia mempermainkan putingku.

“Umm…..” gumamku keenakan sambil menggigit bibir.

Bang Rosyid lalu menarik celana panjangku dan melepasnya. Dia sendiri membuka kancing celana pendeknya dan kembali menindihku.

Aku terkesiap saat jari Bang Rosyid menyentuh lubang anusku dan mengurutnya pelan. Aku agak khawatir karena Bang Rosyid sepertinya sedang bernafsu dan terburu-buru ingin menyetubuhiku. Aku khawatir Bang Rosyid akan memaksaku menerima kehadiran penisnya tanpa pelicin yang cukup.

Tapi rupanya Bang Rosyid telah mempersiapkan segalanya. Diambilnya satu sachet pelumas kemasan dan dengan cekatan dikeluarkan isinya untuk melumuri penisnya yang sudah tegang itu. Sebagian lagi pelumas itu dioleskannya pada jarinya dan diusap-usapkannya pada lubang anusku.

“Hmm..” gumamku merasakan sensasi dingin gel pelumas yang ada di tangan Bang Rosyid.

“Abang masukkin ya?” pinta Bang Rosyid.

Aku mengangguk setuju berusaha membuat anusku rileks dengan menatap wajah Bang Rosyid penuh cinta dan kepasrahan. Kurangkulkan tanganku pada leher kekar Bang Rosyid.

Tak lama, aku memekik pelan ketika kepala penis Bang Rosyid mulai memasukki lubang anusku.

“Engghh…” erangku sambil mencoba mengatur nafas. Untungnya pelumas itu cukup membuat penis Bang Rosyid leluasa masuk tanpa terlalu menyakitiku.

“Abang sayang sama Karim… cuma Karim yang bikin abang ngaceng sekarang…” kata Bang Rosyid. Tentu saja dia hanya menggombal karena aku melihatnya bersemangat menyetubuhi istrinya tadi malam. Tapi aku membiarkan diriku terbuai rayuannya.

“Iya bang… Ngghh…” kataku sambil terus membiasakan anusku kembali disesaki oleh batang penis Bang Rosyid.

Rupanya Bang Rosyid benar-benar ingin menunjukkan bahwa akulah yang dia inginkan. Hentakkan pinggangnya begitu kuat dan bersemangat membuat penisnya melesak masuk sangat dalam di dalam tubuhku.

“Huffh.. hhh.. hh..” desahku mencoba mengimbangi permainan Bang Rosyid yang beringas.

“Enak? Hah?” godanya sambil tersenyum nakal ketika melihatku terus mendesah sambil mulutku terbuka.

Aku mengangguk. Bang Rosyid semakin beringas menghujamkan penisnya dalam anusku. Diangkatnya pinggangku dan dengan dorongan kuat berkali-kali digenjotnya pantatku sambil menggeram.

“Ouhh.. bang.. nggh…” tanpa menyentuh penisku, aku tak tahan lagi hingga mencapai puncak orgasme akibat tekanan demi tekanan batang penisnya pada prostatku. Sadar aku telah mencapai orgasme, kini Bang Rosyid berkonsentrasi pada kepuasannya sendiri. Dia mempercepat gerakannya hingga aku yang telentang di atas kayu pasrah terlonjak-lonjak mengikuti gerakannya.

Bang Rosyid melenguh panjang. Aku memekik pelan ketika semburan sperma Bang Rosyid di dalam anusku berkali-kali terasa panas dan menimbulkan sensasi gelenyar di seluruh tubuhku hingga aku merinding. Aku terkulai lemas dan membiarkan Bang Rosyid menciumi leher dan dadaku pelan-pelan seakan berterima kasih padaku telah memuaskan birahinya siang itu.

Setelah kami berpakaian, Bang Rosyid berkata padaku.

“Abang tahu kondisinya lagi sulit. Enggak mungkin Abang tinggalin Kak Yus begitu aja. Tapi Abang juga enggak bisa ninggalin Karim..”

Buaya darat. Begitu pikirku dalam hati. Tapi aku jatuh cinta pada buaya darat ini dan menyetujui permintaannya agar aku tak menjauhinya.

“Iya Bang.. Abang juga harus ngerti. Karim sekarang lagi konsentrasi sama ujian. Jadi… Karim enggak maksa juga ketemu terus sama Bang Rosyid. Setidaknya sampai masa ujian lewat,” kataku.

Bang Rosyid tersenyum dan mengecup keningku.

Saat aku tiba di rumah, kulihat Nenek sedang duduk di teras sambil menangis. Aku bergegas menghampirinya.

“Loh, Nek? ada apa?” tanyaku khawatir.

“Rim.. tadi ibu kamu.. ibu kamu datang ke sini..” kata nenek.

“Ibu..? mau apa dia, Nek? sejak dia nikah sama pejabat itu, dia udah lupain Karim sama Nenek. Padahal Nenek orangtuanya ibu…” tanyaku gusar.

“Ibu kamu tadi datang.. dia bilang mau ajak kamu ke kota setelah lulus.. kalau kamu enggak mau, ibumu akan maksa…” raung nenek.

“Karim enggak mau, nek! Karim enggak mau ikut ibu! Karim bakal di sini terus temenin nenek!” kataku berusaha menenangkan nenek dengan memeluknya.

Ah, ada apa lagi sekarang? pikirku dalam hati sambil menghela nafas.

***

Hari ujian akhir telah tiba. Aku sedikit lebih tenang karena pikiranku kepada Bang Rosyid teralihkan oleh belajar dan belajar menghadapi ujian. Aku bersungguh-sungguh agar bisa lulus dan bercita-cita untuk meneruskan kuliah yang kampusnya tak jauh dari kampungku.

Sesekali aku masih bertemu dengan Bang Rosyid. Memang tidak melulu berakhir dengan seks. Tapi aku senang Bang Rosyid memperhatikanku dan menyayangiku seperti aku adalah kekasihnya. Kebahagiaanku bertambah ketika aku lulus dengan nilai yang sangat memuaskan. Aku berniat memberitahukan Bang Rosyid dan nenek kabar gembira itu.

Sore harinya menjelang maghrib, aku tiba di rumah. Seragamku sudah penuh dengan coretan spidol warna-warni tanda-tangan teman-temanku. Wajahku sumringah hendak mengabari berita kelulusanku pada Bang Rosyid yang sedang duduk di teras rumahnya. Wajahnya terlihat aneh.

“Bang! Karim lulus!” sahutku.

Bang Rosyid menatapku sekilas dengan senyum yang dipaksakan. “Oh ya? selamat ya Karim..”

“Loh, kok? abang lesu gitu? kenapa?” tanyaku penasaran.

Bang Rosyid menghela nafas.

“Abang baru denger kabar, Rim. Yus.. Yus hamil, Rim… Abang bakalan punya anak..” katanya sambil memandang sedih padaku tapi tetap mencoba terus tersenyum.

0 komentar:

Posting Komentar