Cerita Gay Melayu Malaysia,Indonesia & Singapore.

Rabu, 24 Februari 2016

BANG ROSYID DITINGGAL ISTRI 6

“KAMU mau ke mana, Yus?” tanyaku ketika melihat istriku seperti hendak keluar rumah sore itu sambil menenteng ponselnya.

“Eh, Bang.. mau isi pulsa dulu ke sebelah…” kata Yus. Tampaknya dia agak terkejut tak menyangka aku melihatnya keluar.

“Kayaknya sering amat beli pulsa, Yus?” tanyaku.

“Iya, Bang.. Yus kan sering telepon ibu.. buat tanya-tanya kehamilan,” kata istriku.

Aku menggumam sambil mengangguk.

“Makanan ada di meja ya, bang. Yus udah panasin tadi,” katanya lagi sebelum keluar dari rumah.

Aku mengangguk lagi sambil mengawasi Yus pergi.

Sejak aku memberitahu Karim perihal kehamilan Yus, sepertinya anak itu kembali berusaha menjauhiku dua minggu ini. Sialnya lagi, sejak Yus hamil, dia selalu menolak ajakanku untuk berhubungan badan. Aku memang sedikit egois, (oke! sangat egois.) untuk kalau bisa mempertahankan keduanya. Dengan Yus, aku bisa menikmati seks sebagaimana mustinya: dengan wanita. Sebagai pria, aku terbiasa tertantang membuat wanita menggeliat nikmat di atas ranjang. Itu selalu berhasil memuaskan egoku. Tapi dengan Karim? aku mendapatkan kepuasan tanpa harus berusaha keras. Pria adalah mahluk yang mudah terpuaskan, tidak seperti wanita yang kadang selalu terganggu oleh suasana hati. Dengan Karim, entah bagaimanpun suasana hati kami saat itu, pikiran apapun, ketika kami bersatu, tujuan kami hanya satu: mencapai kepuasan.

Itulah sebabnya, aku merindukan Karim. Memang harus aku akui, sekarang ini aku merindukannya tak hanya urusan seks. Jatuh hati padanya? mungkin. Setidaknya aku peduli dan sayang dengan anak itu. Saat aku bilang padanya bahwa Yus sedang hamil, wajahnya menyiratkan kekecewaan yang amat dalam. Dia tak berkata apa-apa. Tapi raut wajahnya sudah cukup memberitahukan padaku bahwa dia cemburu. Dia benar-benar menyukaiku dan mau tak mau itu berpengaruh padaku.

Sore hari itu Yus berpamitan padaku. Dia mengatakan akan menginap di rumah orangtuanya selama beberapa hari karena siang hari, saat aku bekerja di ladang, dia yang sedang mengalami mual-mual akibat hamil tak ada yang memerhatikan. Yus bilang tak bisa terus-terusan merepotkan Neneknya Karim hingga dia memutuskan untuk tinggal beberapa lama di rumah orangtuanya sampai kondisinya lebih baik.

Kakak laki-laki Yus (yang dari dulu tidak menyukaiku), tidak banyak bicara saat menjemput Yus dengan motornya.

“Yus pergi dulu, bang,” kata istriku sambil menempelkan punggung tanganku pada dahinya.

“Hati-hati di jalan, pelan-pelan jalanin motornya!” pesanku.

Malam itu aku kembali kesepian. Aku memeluk guling kembali mengingat-ingat saat Karim beberapa kali menginap di rumahku dan melayani nafsuku.

Tiba-tiba ponselku bergetar. Aku langsung bangkit saat kulihat pesan dari Karim. “Buka pintu dapurnya bang, Karim mau mampir..”

Cepat-cepat aku turun dari ranjang dan memperbaiki sarungku. Kulihat Karim sudah berdiri di luar pintu belakang rumah saat kubuka pintu. Kepalanya tertunduk.

“Loh, Karim? ada apa malam-malam datang?” tanyaku.

Karim tak menjawab. Dia malah bertanya balik.

“Boleh masuk, Bang?”

Aku mengangguk dan membuka pintu lebih lebar mempersilakan Karim untuk masuk.

Karim tiba-tiba memelukku sesaat setelah aku mengunci pintu dapur. Dia membenamkan wajahnya di pundakku dan mengatakan sesuatu.

“Karim enggak tahan. Karim kangen sama abang..” ujarnya.

Aku lalu mengangkat wajahnya dan menatapnya beberapa lama.

Sebenarnya banyak pertanyaan yang ingin kuajukan. Bagaimana kabarnya? apa saja kegiatannya setelah lulus? tapi semua itu tak bisa terucap. Aku lalu mencium bibir anak itu lama sekali.

Karim bereaksi. Dia balas menciumku. Karim tak menolak saat aku menggiringnya masuk ke dalam kamar. Kubuka kausnya dan Karim lalu ganti membuka kausku. Sambil terus menciumnya, aku menindih Karim di atas ranjang. Aku mencumbu leher dan bagian tubuh Karim lainnya yang aku rindukan. Karim mendesah. Desahan dan rintihan yang biasa keluar dari mulutnya tanda menikmati setiap rangsangan yang kuberikan.

Tapi kali ini Karim tak mau berlama-lama dalam posisi yang pasrah. Dia lalu mendorong tubuhku tiduran di atas ranjang. Dengan sigap Karim membuka celanaku. Kupejamkan mata dan kunikmati saat Karim mulai mengoral penisku. Aku mendengar diriku sendiri melenguh ketika sapuan lidah Karim yang lincah menyapu batang penisku, mengulumnya, mengisapnya hingga terasa hangat dan basah.

Setelah Karim membuat basah batang penisku yang sudah sangat keras itu, Dia lalu bangkit dan kedua pahanya dalam posisi mengimpit pinggangku. Aku lihat dada dan peutku naik turun menantikan apa yang akan dilakukan oleh pemuda tampan ini di atas tubuhku.

Karim lalu meraih batang penisku yang berdiri tegak. Diarahkannya kepala penisku tepat pada pintu masuk lubang anusnya. Kudengar nafas Karim semakin jelas dan cepat. Dia memejamkan matanya saat perlahan menurunkan pinggangnya agar batang penisku semakin masuk ke dalam anusnya. Aku menggeliat saat kurasakan jepitan dinding anus Karim mulai terasa memijat-mijat kemaluanku. Karim menghentikan gerakannya sejenak berusaha membiasakan diri kembali dengan batang penisku di dalamnya.

“Hhh… uuh..” kudengar dirinya mendesah sambil menggigit bibirnya sendiri seperti kesakitan. Awalnya aku tak tega melihatnya bekerja keras sendirian, namun aku menahan diri dan memutuskan untuk melihat aksinya. Kucengkeram paha Karim. Nafasku menjadi tertahan ketika Karim lanjut menurunkan tubuhnya sehingga aku melihat sendiri batang penisku menghilang ke dalam pantatnya.

“Nggh…” erang Karim sambil menggenggam penisnya.

Aku kembali mengerang ketikan anus Karim semakin ketat menjepit penisku. Rasanya seperti kemaluanku disedot oleh alat vakum ketika Karim mengangkat pantatnya lalu menurunkannya berulang kali.

“Enggh….” erang Karim berkali-kali. Wajanya meringis seperti gabungan antara sakit dan keenakan. Gerakannya semakin cepat. Karim mengerang-erang sambil pinggangnya terus bergerak-gerak. Beberapa lama kemudian, Karim melengkungkan punggungnya dan meletakkan kedua telapak tangannya pada betisku. Pantatnya terus naik turun mencoba memuaskanku. Tak tahan hanya bersikap pasif, kuangkat pinggulku dan mulai mendorong penisku ke dalam pantat Karim. Karim meringis semakin kencang. Tapi dia tidak mecoba menghentikanku. Desahannya semakin kencang, dan akhirnya Karim mencapai orgasme lebih dulu. Spermanya memancar keluar membasahi dada dan perutnya.

Aku mempercepat gerakanku. Eranganku semakin keras saat aku merasa akan keluar. Dan dengan hentakan terakhir, aku menyemburkan isi zakarku ke dalam pantat Karim. Kudengar dia mendesah panjang dan menggigil. Reaksi tubuhnya ketika aliran sperma hangatku masuk. Tubuh Karim ambruk. Dia lalu memelukku erat sekali. Aku membiarkannya karena tahu dia mungkin sangat merindukanku. Lagipula Aku juga menikmatinya.

****

Karim memang tak menginap malam itu. Dia pulang ketika kami berdua terbangun lewat dini hari. Namun sejak saat itu, Karim kembali menjauhiku. Aku yang kini bertanya-tanya dengan perubahan sikapnya. Sebenarnya Karim masih ingin bertemu denganku atau tidak, walau mengetahui istriku dalam keadaan hamil.

Saat aku kembali dari ladang setelah mencuci peralatanku, aku mendapati Karim sudah berada di saung.

“Loh, Karim? tumben main ke sini?” tanyaku.

“Iya, Bang… udah enggak ada kegiatan di sekolah. Karim resmi jadi pengangguran,” katanya.

“Karim enggak mau lanjut kuliah?” tanyaku sambil mengambil tempat duduk di sebelahnya.

“Pengen sih, Bang.. tapi.. kalau ke kota, artinya Karim enggak bisa ketemu abang lagi..” kata Karim.

“Ke kota? memangnya nenek kamu punya biaya buat kamu kuliah di kota? kenapa enggak di kampus yang ada kecamatan aja?” tanyaku.

Karim terdiam. Setelah menghela nafas dia melanjutkan.

“Sebenernya Karim juga pengennya begitu. Biar bisa deket sama Abang, tapi… Karim enggak yakin bisa tahan lihat abang berduaan sama Kak Yus, lalu punya anak, lalu..” Karim tak melanjutkan ucapannya.

Aku memeluk Karim. “Maafin abang, ya? Abang enggak nyangka kalau Karim sebegitu sayangnya sama abang sampai…”

Aku diam sejenak.

“..tapi kalau Karim emang merasa harus kejar cita-cita pergi ke kota, ya..” rasanya sesak sekali berkata hal itu dan berpura-pura tenang. Aku sebenarnya tak rela Karim pergi.

Karim melepaskan pelukannya.

“Sebenarnya Karim sudah janji sama nenek.. Ibu Karim sempat datang ajak Karim tinggal di kota. Tapi Karim enggak tega tinggalin nenek… dan abang. Tapi kalau abang ngerasa kalau Karim sebaiknya pergi sih..”

Aku meneguk ludah. Dalam hati sebenarnya aku ingin bilang bahwa sebaiknya Karim tetap di desa. Tapi aku tak bisa menjadi penghalang masa depan anak ini.

“Yah.. tolong pikir yang masak ya, Rim.. ini Buat masa depan kamu,” kataku sambil menepuk bahu Karim.

Karim lalu berpamitan. Aku ingin mencium dirinya, namun anak itu malah meraih tanganku untuk salim dan pergi tanpa berkata apa-apa lagi. Aku mengawasi bayangan Karim sampai menghilang di balik pepohonan.

***

Pagi harinya, saat aku hendak menuju sawah, di jalan setapak aku bertemu dr. Ita. Perempuan itu naik sepeda motor keluaran tahun lama menuju klinik desa dan kebetulan berpapasan denganku.

Karena aku sering membantunya membangun tenda saat ada acara penyuluhan kesehatan, dr. Ita cukup kenal denganku.

“Pagi pak Rosyid… pergi ke sawah, nih?” katanya sambil memperlambat laju motornya.

“Eh, bu dokter. Iya bu,” jawabku ramah.

“Bagaimana kondisi istrinya? jangan lupa jadwal ke klinik lagi ya buat periksa kehamilan. Kemarin Pak Rosyid cuma tunggu di luar aja ya? padahal harus tau juga loh, jadwal cek kehamilan,” kata dr. Ita lagi.

“Baik Bu dokter. Sekarang istri saya di rumah orangtuanya. Katanya sampai ngidamnya reda,” kataku.

“Yang sabar ya Pak Rosyid, pastikan aja gizinya seimbang dan enggak banyak yang dimuntahin.. apalagi kehamilan pertama ini, kemarin sepertinya telat ya periksanya? harusnya jangan nunggu sampai usia kehamilan delapan minggu,” jelas dr. Ita.

Mendengar penjelasan dr. Ita, aku langsung berpikir. Delapan minggu? bukankah Yus baru datang sebulan lebih beberapa hari saja? aku hendak mengutarakan keherananku dan bertanya pada dokter untuk memastikan kembali. Tapi aku menahan diri.

“Oh.. iya.. iya dok, nanti saya awasi kehamilan Yus..” kataku buru-buru.

“Nah, gitu dong Pak Rosyid. Jadi suami siaga ya?”

Aku tak sempat lagi memikirkan hal lain. Buru-buru aku kembali ke rumah dan batal untuk pergi ke sawah hari ini. Yus masih di rumah orangtuanya dan aku tidak memiliki kendaraan. Itu sebabnya, aku meminta Edi tetanggaku untuk mengantarku ke rumah orangtua Yus menanyakan kebenaran usia kandungannya.

“Tunggu dulu di sini, Ed..” kataku.

“Kamu mau jemput Yus, Syid?” tanya Edi.

“Enggak, cuma mau tanya sesuatu aja,” ujarku pelan sambil mengepalkan lenganku menahan marah.

Awalnya aku hendak melampiaskan keherananku dengan marah-marah di rumah Yus, tapi aku menahan diri. Kumasuki rumah orangtuanya yang pintunya kebetulan terbuka dan mencari-cari penghuni rumah itu.

Aku berkeliling rumah, namun sepertinya semua orang sedang pergi. Kemudian aku mendengar dua orang wanita bercakap-cakap di dalam sebuah kamar.

Aku mengintip dari balik tirai berusaha tak bersuara. Kulihat Yus dan ibu mertuaku sedang mengobrol di atas ranjang. Yus terlihat berurai air mata.

“Rosyid sudah tahu? gimana kalau dia tahu anak ini campuran..” kata ibu mertuaku.

Kulihat Yus menggeleng.

“Ini bukan sama majikan Yus. Yus kenal TKI yang kerja di pelabuhan. Orang kita juga.. trus Yus dirayu.. dan.. dan…” ujar Yus tersendat.

“Yus sudah telepon orang itu di luar negeri, dia malah enggak mau tahu…” lanjutnya.

Oh, itulah sebabnya Yus sering sekali menghabiskan pulsa teleponnya.

“Kalau kamu bohong, tetap saja Rosyid tahu kamu melahirkan lebih cepat, Yus!”

“Yus bisa bilang, kalau anak ini lahir prematur, asal Yus di sini terus sama ibu selama Yus hamil…” pinta istriku.

Tak tahan dengan pembicaraan mereka, aku lalu masuk ke kamar. Keduanya sangat terkejut melihat kedatanganku.

“Enggak usah sampai melahirkan! Abang sudah dengar semua!” raungku di hadapan mereka. Tak tahan, kuangkat tanganku hendak menampar Yus. Namun jeritan ibu mertuaku menahan perbuatanku.

“Syid! JANGAN SYID!! DIA ISTRI KAMU!”

“Dasar istri enggak tahu malu! saya enggak akan kotorin tangan ini buat mukul kamu, ngerti! saya akan segera ceraikan kamu!” sahutku.

Kulihat Yus menangis semakin menjadi-jadi. Membujukku untuk tak pergi sama saja mengundangku untuk menyakitinya. Itulah sebabnya mereka berdua yang tertangkap basah tak ada yang berani melawanku.

Dalam perjalanan pulang, rasa marahku berangsur-angsur menjadi hilang. Artinya.. artinya aku bisa bersama Karim lebih lama. Walaupun aneh aku memikirkan itu, karena kami sama-sama lelaki dan tak mungkin menikahinya, tapi bayangan bahwa penghalang antara diriku dan Karim sudah tak ada lagi membuatku merasakan setitik kebahagiaan menyelusup di hatiku.

Saat aku tiba di rumah, aku hendak bertemu Karim dan ingin menceritakan segala sesuatunya. Dengan gembira aku melompat dari boncengan motor Edi. Langkahku terhenti ketika kulihat ada sebuah mobil terparkir di depan rumah nenek Karim. Karim ada di situ berpelukan dengan neneknya yang menangis tersedu-sedu. Dia berpakaian rapi dan menenteng tasnya. Seorang wanita paruh baya yang cantik, ditemani seorang pria yang tampaknya adalah sopir wanita itu, berdiri tak jauh dari mereka. Sabar menunggu sambil memerhatikan Karim dan neneknya berpelukan.

“Rim..? Karim? kamu mau ke mana?” tanyaku sambil berjalan  terburu-buru ke arahnya.

Karim melepaskan pelukan dari neneknya dan berbalik padaku sambil mengusap airmatanya.

“Karim mau ikut ibu, Bang.. Karim pamitan dulu ya?” ujarnya sambil meraih tanganku dan menyentuhkannya pada dahinya.

Aku tertegun tak menyangka berita ini terlambat kuketahui. Karim telanjur akan pergi.

0 komentar:

Posting Komentar