Cerita Gay Melayu Malaysia,Indonesia & Singapore.

Rabu, 24 Februari 2016

BANG ROSYID DITINGGAL ISTRI 7

RASANYA berat bagiku untuk pergi dari desa. Terlebih aku berjanji pada nenek untuk tidak menuruti keinginan ibu kandungku yang tiba-tiba datang setelah sekian lama tak peduli pada kami. Rupanya ibu tak patah semangat. Walau sempat diusir nenek, beberapa hari kemudian beliau datang kembali ke rumah dan mengutarakan maksudnya.

Ibuku masih tampak cantik di usianya yang nyaris empat puluh tahun. Setelah bercerai dari ayah, Ibu rupanya berkenalan dengan seorang politikus muda ambisius. Suami barunya memiliki karir yang menjanjikan untuk menjadi anggota legislatif dan masa lalu istrinya akan menjadi suatu hal yang mungkin akan menghambat karirnya apabila media mengetahui bahwa istrinya pernah menikah dan memiliki anak.

Kudengar suami baru ibu akhirnya terpilih menjadi Bupati. Setelah itu barulah kebenaran bahwa Bupati memiliki istri yang pernah menikah terungkap media. Rupanya keluarga suami baru ibuku tak keberatan lagi sekarang. Oleh karena itu, Ibu yang setiap bulannya mengirimkan uang pada nenek akhirnya berani menunjukkan wajahnya kembali ke rumah.

“Ibu enggak nyangka punya anak seambisius kamu, Er.” kata Nenek.

“Ini semua demi Karim, demi ibu juga..” kata ibuku dengan sikap tegak dan dingin berusaha seperti layaknya seorang istri pejabat terhormat.

Ibu duduk di depan nenek. Dia duduk tetapi sikapnya yang tegak membuatnya seperti melayang dan tak menempel pada kursi yang dia duduki. Dia tak berusaha melihatku sama sekali. Entah karena merasa bersalah, atau memang hatinya sudah membatu.

“Ibu enggak butuh bantuan dari kamu! kamu lihat sendiri kan? Karim baik-baik saja di sini. Simpan semua uang kamu buat keluarga baru kamu! hanya karena kamu tidak punya anak…” nenek berhenti bicara saat kulihat ekspresi wajah ibuku berubah. Namun kemudian nenek melanjutkan kalimatnya.

“..hanya karena kamu tidak punya anak, sekarang kamu mau ambil Karim kembali? demi apa? demi supaya terlihat kalau keluarga suami kamu yang bupati itu terlihat lengkap, hah? begitu?” cecar nenek.

“Ini bukan keputusan ibu lagi. Karim sudah dewasa. Biar dia yang menentukan…” balas ibuku.

“Karim sudah bilang sama ibu kalau dia tidak mau ikut ke kota!” hardik nenek.

Aku menghela nafas. Pembicaraan kedua orang dewasa ini yang merasa seolah-olah berhak menentukan masa depanku membuatku sedih. Aku menoleh keluar ke arah rumah Bang Rosyid yang sepi. Aku tak bisa terus-terusan beranggapan bahwa hubunganku dan Bang Rosyid bisa berjalan mulus. Bagaimanapun Bang Rosyid sudah memiliki istri dan akan memiliki anak. Aku? di lubuk hatiku aku tak ingin masa mudaku tersia-siakan hanya demi menuruti keinginanku untuk selalu dekat dengan pria yang kucintai. Aku harus memikirkan masa depanku. Masa depan nenek juga.

“Karim bersedia ikut ibu…” kataku tiba-tiba.

Baik nenek dan Ibu bersamaan menatapku tak percaya. Ibu bahkan sampai seperti hendak bangkit dari duduknya.

“Karim… Karim enggak sayang nenek lagi?” tanya Nenek sedih yang membuat hatiku terasa hancur.

Aku mulai terisak.

“Karim sayang nenek, tapi.. Karim juga harus mikirin masa depan Karim. Mudah-mudahan Karim bisa cepat selesai Kuliah lalu bisa mandiri dan ajak Nenek tinggal sama Karim…”

“Tapi Karim kan bisa kuliah di dekat sini…” kata Nenek.

Aku memeluk Nenek. “Maafin Karim nek.. Karim janji akan sering datang ke sini jenguk nenek kalau nenek enggak mau pergi ke kota. Tapi Karim enggak bisa tinggal di desa karena..” aku tak bisa melanjutkan kalimatku.

Entah mengapa Nenek akhirnya melunak. Dia memelukku erat namun tak lagi mempertanyakan keputusanku. Hari itu juga aku berkemas hendak pergi. Nenek sambil menangis membantuku mengepak barang. Hatiku tak tega melihat nenek. Mungkin juga aku akan kembali ke desa dalam hitungan hari karena rasa rindu yang kuat. Tapi saat itu yang ada dalam pikiranku adalah bagaimana caranya pergi dari desa menjauhi Bang Rosyid.

“Sering-sering kabarin nenek..” katanya.

Aku mengangguk mantap sambil memasukkan pakaianku ke dalam kardus. Kulihat rumah Bang Rosyid melalui jendelaku. Aku berharap bisa melihat dirinya ada dan melihatku hendak pergi dan menahanku. Tapi tampaknya tak ada siapapun di rumahnya.

Setelah semua barang-barangku dimasukkan ke dalam mobil ibu, aku memeluk nenek sekali lagi sambil bertangisan. Ibu melihat kami dengan ekspresi tenang seolah tanpa merasa bersalah.

“Jaga diri kamu di sana. Sering-sering ke sini kalau libur.. nenek doain kamu jadi orang sukses…” kata nenek terbata-bata.

“Rim..? Karim? kamu mau ke mana?”

Tiba-tiba Bang Rosyid datang sambil memanggilku.

Aku melepaskan pelukan dari nenek dan berbalik padanya sambil mengusap airmata.

“Karim mau ikut ibu, Bang.. Karim pamitan dulu ya?” kataku sambil meraih tangannya dan menyentuhkannya pada dahinya.

“Loh? Kok mendadak gini? Kenapa?” tanya Bang Rosyid. Dia terlihat sangat cemas.

“Karim udah buat keputusan, Bang.. Karim mau kuliah di kota,” jelasku.

“Tunggu dulu.. tunggu.. Abang mau bicara dulu sama Karim!” kata Bang Rosyid lagi sambil menarikku agak jauh. Tangannya mencengkeram lenganku seolah tak mengizinkanku pergi.

Aku terdiam sesaat. Lalu aku meminta izin pada ibuku untuk berpamitan dulu dengan Bang Rosyid. Ibuku mengizinkan.

Bang Rosyid mengajakku ke dalam rumahnya. Begitu kami berada di dalam kamarnya, Bang Rosyid langsung memelukku.

“Jangan pergi, Rim.. Abang sayang kamu!” pintanya. Aku belum pernah melihat Bang Rosyid cengeng seperti ini.

“Karim enggak bisa deket terus sama abang. Abang udah punya istri dan bentar lagi bakal jadi bapak!” kataku.

“ABANG MAU CERAIKAN ISTRI ABANG! Abang baru tahu kalau dia selingkuh dan anak yang dia kandung bukan anak abang!” sahut Bang Rosyid.

Mendengar berita itu mendadak tubuhku lemas. Aku mundur dua langkah dari Bang Rosyid.

“A..apa bang?” tanyaku tak percaya.

“Abang minta Karim bersabar sebentar.. mau ya?” pinta Bang Rosyid sambil memegangi pundakku.

“Tetap aja enggak bisa, bang! memangnya kalau Karim menunggu abang, kita bakal sama-sama seterusnya, gitu?” Tolakku.

“Tapi minimal enggak ada orang lagi yang jadi penghalang kita, Rim,” kata Bang Rosyid.

“Karim juga punya impian bang.. Kalau memang kita nantinya sama-sama lagi, walau Karim juga enggak pengen ninggalin abang sekarang, Karim pengen jadi “orang” dulu.. Demi masa depan Karim, demi nenek juga,” sahutku.

Bang Rosyid menghela nafas. Dia akhirnya melepaskan cengkeraman tangannya pada lenganku dan terduduk di ranjang.

Aku menghampiri Bang Rosyid. Kukecup dahinya dan kuusap kepalanya dan kudekapkan pada dadaku. Ah, betapa aku akan merindukan pria gagah ini.. Cumbuannya, perhatiannya.. Pikirku dalam hati. Tapi aku harus memantapkan hatiku. Aku tak ingin berada terus dalam bayang-bayangnya.

“Sering-sering pulang kampung!” Pintanya.

“Iya bang.. Pasti. Doain Karim biar sukses ya, bang,” aku berkata.

Tak ada pilihan lain bagi Bang Rosyid selain merelakanku pergi. Kulihat dia memeluk Nenek yang kembali menangis saat aku menoleh ke belakang dari dalam mobil.

***

Saat aku tiba di rumah ibuku, rupanya beliau harus pergi ke suatu tempat di luar kota untuk menyusul suaminya.

Ibu tinggal di sebuah rumah dinas bupati. Walau tak sebesar rumah-rumah mewah di sekitarnya, rumah dinas ini terlihat apik dan terawat dalam bentuk bangunan kunonya yang masih dipertahankan. Di sebuah ruang tengah yang cukup besar, ada foto-foto bupati yang pernah memimpin daerah ini lengkap dengan keterangan nama dan periode jabatannya. Paling terbaru adalah ayah tiriku. Aku pernah melihatnya di televisi beberapa kali. Namanya Prasady Arman. Konon dia adalah politikus yang populer salah satunya karena ketampanannya. Memang, di usianya yang baru kepala empat, Pak Arman masih terlihat segar. Yang aku tahu beliau ini memang hobi berolahraga dan dipercaya menjadi pembina organisasi kepemudaan dan olahraga sejak sebelum dilantik menjadi bupati.

“Kamu… nanti ada yang ajak keliling rumah ini. Ibu enggak bisa lama-lama karena harus pergi. Nanti kita bicara lagi, ya?” kata Ibu. Nadanya sangat datar dan tak seperti seorang ibu yang berbicara pada anaknya.

Aku mengangguk. Saat aku berjalan mendekati Ibu, dia secara reflek mundur menghindar. Aku heran. Kupikir dia merasa bahwa aku akan memeluknya, padahal aku hanya ingin mencium tangannya sebelum Ibu pamit. Dia lalu salah tingkah setelah mengetahui niatku sebenarnya dan membiarkan tangannya untuk kusalami.

Ibu berdeham sebentar lalu membereskan blus dan tatanan rambutnya lalu mengucapkan kata pamit sebelum dia berlalu dari hadapanku.

Untunglah ada seorang kepala rumah tangga baik hati yang membantuku beradaptasi di rumah baruku ini. Awalnya aku merasa seperti sedang berasa di sangkar burung. Tak bisa kemanapun karena aku juga belum paham betul wilayah ini. Lama-lama aku bisa menghibur diri dengan menonton televisi dan membaca buku untuk menghabiskan waktu.

Aku tidak tahu kapan ibuku dan suaminya kembali. Kudengar mereka baru datang beberapa hari lagi. Kalau tahu begini, aku ingin kembali ke desa bersama nenek. Tapi bayangan Bang Rosyid membuatku berusaha tegar dan tak ingin terjerumus rasa kangen yang membuatku ingin pulang kampung.

Suatu malam, aku memandangi layar ponselku. Baru saja aku menelepon nenek memberitahukan kalau aku baik-baik saja di rumah baru. Sebenarnya aku ingin menanyakan kabar Bang Rosyid, tapi entah mengapa tak jadi kusebutkan dalam pembicaraanku dengan nenek. Haruskah aku mengirimkan sms kepada Bang Rosyid? tanyaku dalam hati. Tapi aku mengurungkan niatku.

Ayolah, Karim! masa baru berapa hari udah kangen? kataku dalam hati sambil menampar-nampar pipiku agar mengantuk.

Tak lama kemudian aku memang tertidur. Tapi entah jam berapa aku terbangun. Jantungku nyaris copot karena terkejut saat kudapati seseorang dalam keremangan lampu kamar.

“Karim?” tanya suara berat yang sosoknya duduk di ranjangku.

“I.. iya..” jawabku gugup.

Orang itu lalu menyalakan lampu kamarku yang tombolnya tak jauh dari ranjang. Saat itulah aku bisa melihat wajah yang kukenali sebagai suami ibuku. Bapak Prasady Arman. Dia tersenyum ramah menatapku. Aku heran. Sedang apa dia di kamarku malam-malam begini? Pakaiannya masih lengkap: kemeja lengan panjang polos dan celana bahan berwarna gelap.

“Eh.. bapak.. sudah pulang?” tanyaku berusaha bersikap sopan dan meraih tangannya untuk kusalami.

“Iya. Maaf bapak baru bisa temuin kamu hari ini. Ibu kamu bapak pinjam dulu..” katanya sambil meletakkan tangannya pada kakiku.

“Oh, eh.. iya pak.. enggak apa-apa.. Karim juga lagi berusaha membiasakan diri di sini..” kataku masih dalam keadaan gugup.

“Kamu sebaiknya selama liburan ini mulai cari-cari universitas yang kamu suka… pikirkan baik-baik pilihan jurusannya…” kata Pak Arman lagi. Kali ini tangannya bergeser ke atas sehingga meraba pahaku.

“Pak…” protesku sambil berusaha menepiskan tangannya dari pahaku. Aku tidak suka gelagat pria ini. Matanya yang tadi ramah mendadak seperti predator sedang memeriksa calon mangsanya.

Wajah Pak Arman berubah serius saat aku menepis tangannya. Tiba-tiba telapak tangannya menampar pipiku.

“Kamu jangan coba-coba bersikap tidak sopan sama saya!” bentaknya.

Aku meringis saat kurasakan panas pada pipiku. Sadar posisiku tidak menguntungkan, dan aku masih ragu apakah harus membuat keributan malam-malam begini, aku kemudian memilih diam dan menunggu apa yang akan dilakukan oleh Pak Arman. Aku berharap dia menghentikan perbuatannya dan segera keluar dari kamarku.

Tampaknya diamku membuat Pak Arman seperti mendapat angin. Tangannya tiba-tiba semakin agresif. Disusupkannya telapak tangannya ke balik kausku dan meremas dadaku hingga aku merasa kesakitan.

“Aww.. Pak! jangan!” rengekku sambil berusaha menjauhkan tangannya yang kekar dari tubuhku.

Pak Arman tidak menggubris protesku. Dia malah menundukkan kepalanya dan mendekatkan wajahnya pada leherku. Hidungnya mulai mengendus-endus. Aku bisa merasakan kumis dan janggutnya yang tajam seperti baru tumbuh itu menggesek kulit leher dan pipiku. Telapak tangannya semakin liar mengusap dan meremas dadaku. Aku bingung. Apakah aku harus berontak dan berteriak? apa yang harus kujelaskan apabila banyak orang yang datang ke kamarku termasuk ibu? apakah mereka akan mempercayaiku. Mataku terpejam dan seluruh tubuhku menegang sebagai tanda penolakan atas cumbuan paksa Pak Arman saat itu.

Setelah puas bergeriliya pada dadaku, kini tangannya berusaha menyelusup masuk ke dalam celana pendekku. Aku meringis hendak menangis namun tak kuasa menolak cengkeraman Pak Arman yang kuat saat telapak tangannya dengan brutal meremas-remas penisku hingga terasa sakit. Kulihat Pak Arman seperti sedang terangsang menikmati perbuatannya. Dia lalu berdiri dan melepas kancing kemejanya. Untuk pria berusia kepala empat, tubuh pak Arman masih terlihat kencang dan kekar. Tak hanya kancing kemejanya, dia juga membuka kancing dan risleting celananya lalu menarik tanganku masuk ke dalam celana boksernya dan memaksaku untuk memegangnya. Aku terlonjak sedikit saat kugenggam penis Pak Arman yang ukurannya ternyata cukup besar.

“Ayo pegang! remas yang benar.. uhh.. hhh…” desahnya saat telapak tangannya memaksa tanganku untuk terus bergerak di dalam celananya.

Aku benar-benar sudah menangis saat Pak Arman terus membuat tanganku lama menggenggam penisnya yang kurasakan sudah sangat tegang itu. Wajah Pak Arman terlihat sangat keenakan. Tangannya bergerak semakin cepat memaksaku mengocok penisnya semakin cepat pula. Tiba-tiba dia kembali menunduk. Dihisapnya puting dadaku kuat-kuat sampai aku memekik kesakitan. Kucoba untuk menarik rambut Pak Arman agar dia menghentikan perbuatannya, namun tenaganya lebih besar. Beberapa saat kemudian Pak Arman melenguh dan melepaskan tanganku dari balik celananya. Dia lalu berdiri dan menurunkan celana dalamnya dan menarik rambutku hingga kepalaku mendekati selangkangannya.

“Ayo buka mulutnya! buka!” perintahnya.

Sambil memegangi kepalaku, Pak Arman memaksaku mengulum penisnya yang sudah tegang itu. Aku terbatuk-batuk karena sulit bernafas sementara tanganku menggapai-gapai udara berusaha melepaskan diri dari cengkeraman tangannya pada rambutku.

Lalu Pak Arman menembakkan cairan ejakulasinya ke dalam mulutku hingga aku merasa mual. Setelah dia selesai aku terbatuk-batuk dan memuntahkan cairan kental itu dari mulutku ke lantai. Airmataku mengalir dan kurasakan wajahku memanas. Kulihat Pak Arman terengah-engah sambil tersenyum puas. Wajahnya terlihat sangat kejam. Dia membereskan pakaiannya.

“Saya akan bilang nenek! saya akan bilang ibu!” sahutku sambil mengusap mulutku yang masih terasa lengket.

“Coba saja kalau berani…” kata Pak Arman tenang sambil meraih ponselku dari atas meja.

Aku terkejut dan berusaha mengambil ponsel itu dari tangannya. Tapi Pak Arman lebih sigap dan mendorongku ke lantai hingga terjerembab.

Kulihat Pak Arman membuka penutup ponselku dan mencabut kartu simnya. Dia menatapku sekilas sambil tersenyum lalu tanpa kusangka dilemparnya keras-keras ponselku ke dinding hingga hancur. Seperti belum cukup, Pak Arman memungutnya kembali dan menghantamkan layarnya pada dinding hingga remuk.

“Wah..wah.. sepertinya kamu butuh HP baru ya? jangan khawatir.. besok bapak belikan yang bagus ya, hmm?” kata Pak Arman dengan nada mengejek sambil memegang daguku.

Aku menepis tangannya dari wajahku dengan marah. Pak Arman terkekeh sambil menggeleng-gelengkan kepalanya lalu keluar dari kamarku.

Bang Rosyid.. Karim ingin pulang.. UNTUK PART 8 SILA KLIK

0 komentar:

Posting Komentar